Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
PERPOLITIKAN DKI Jakarta semakin bergairah.
Meski pemilihan gubernur dan wakil gubernur baru akan terlaksana satu tahun lagi, para penantang bakal calon yang juga petahana, Basuki Tjahaja Purnama, mulai muncul ke permukaan dengan sokongan kelompok sukarelawan (volunter).
Bila Ahok identik dengan Teman Ahok, mantan Menpora Adhyaksa Dault memunyai Relawan Muda Adhyaksa (Ramah), Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana diperkuat Suka Haji Lulung, dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot dengan Sahabat Djarot.
Sukarelawan yang mayoritas orang-orang muda itu membuat politik, terutama di Jakarta, bukan lagi menara gading.
Mereka secara sukarela menceburkan diri ke kancah perpolitikan.
Gairah perpolitikan Ibu Kota menjadi semakin berwarna karena setiap kelompok sukarelawan memiliki kekhasan tersendiri dalam mengupayakan bakal calon mereka tiba di panggung kekuasaan.
Ramah, misalnya, fokus memoncerkan mesin kelompok sambil terus mempromosikan Adhyaksa.
Koordinator Ramah Harry Naldi menyatakan pihaknya masih berupaya merekrut 100 ribu sukarelawan demi menghadapi Pilkada 2017.
"Kami terpanggil untuk memastikan Jakarta dipimpin oleh orang yang teruji memimpin dengan baik dan benar," ujarnya ketika dihubungi, kemarin.
Sementara itu, Suka Haji Lulung lebih fokus pada penguatan basis massa untuk menggaet suara yang lebih banyak saat pilkada nanti. Koordinator Suka Haji Lulung, Alit Kustizar, mengatakan pihaknya tidak akan seperti Teman Ahok yang sibuk mengumpulkan KTP.
Lulung ialah Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yang juga politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kelompok Suka Haji Lulung menyiratkan optimisme Lulung akan maju dari jalur partai politik sehingga mereka bisa fokus menggaet suara.
"Kami berharap Haji Lulung bisa mewakili suara kami sebagai masyarakat dan merealisasikannya dalam wujud perubahan menuju Jakarta yang lebih baik. Nama ini juga mencerminkan kekaguman kami terhadap sosok Haji Lulung," kata Alit.
Alit mengklaim kelompoknya telah memiliki lebih dari 200 sukarelawan dan akan melonjak hingga 1.000 orang ketika deklarasi digelar pada 30 Maret mendatang.
Dalam jangka panjang, mereka berharap bisa mendirikan 1.000 posko dan menggaet 5.000 sukarelawan.
Lokasi posko akan difokuskan di perkampungan-perkampungan di seluruh wilayah Jakarta.
Bentuk pergerakan mereka menyasar warga di perkampungan.
"Melalui warung kopi di posko, kami akan membuka ruang diskusi dan menyosialisasikan sosok Haji Lulung dan program-programnya seperti tentang masyarakat lingkungan dan percepatan pembangunan daerah dimulai dari RT, RW, dan kelurahan, kepada masyarakat," jelas Alit.
Berbeda dengan Suka Haji Lulung, gerakan Sahabat Djarot memiliki tujuan yang berbeda.
Meski terbentuk saat momentum menjelang Pilkada 2017, Sahabat Djarot mengaku tidak memiliki ambisi untuk menjadikan Djarot sebagai DKI 1 maupun 2.
Gerakan Sahabat Djarot bermula saat Banyu Biru berkicau di Twitter pada Rabu (16/3) menggunakan tanda pagar #SahabatDjarot.
Tagar tersebut merupakan inisiatif para pemuda yang tergabung dalam Komunitas Banteng Muda (KBM).
"Dari situ banyak teman-teman antusias dan bertanya. Akhirnya kami putuskan untuk menjalankan Sahabat Djarot," beber juru bicara Sahabat Djarot, Lexindo Hakim, saat ditemui, akhir pekan lalu.
Bagi Sahabat Djarot, menyebarkan hal-hal positif dari sosok Djarot merupakan tugas utama.
Mereka pun tidak berniat menjadi basis dukungan terhadap Djarot dalam Pilkada 2017.
Mereka juga tidak ingin bertentangan dengan kelompok lain, apalagi sampai menebarkan isu negatif untuk saling menjatuhkan.
"Yang penting menyebarkan hal-hal positif, pilihan politik boleh berbeda. Sahabat Djarot ialah sahabat mereka semua juga," lanjut dia.
Politik balas budi
Terkait menjamurnya sukarelawan menjelang pilkada DKI Jakarta, pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang, mewanti-wanti supaya jangan menggerogoti kebijakan kepala daerah bila kelak berhasil terpilih.
"Sukarelawan harus menjadi kontrol dan memastikan program pemimpin daerah dilaksanakan.
Pengawasan bisa dilakukan melalui kepala daerah langsung atau perwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah," ujar Sebastian, baru-baru ini.
Ia pun mengkritik 'relawan' yang tercoreng seusai Pilpres 2014, sebab ada relawan yang bekerja dengan pamrih dan mendapat jatah atau jabatan di suatu institusi.
"Jadi bukan kerja tanpa pamrih," katanya.
Sebastian mendorong para sukarelawan bakal calon gubernur membuktikan diri bekerja tanpa pamrih.
"Ahok harus belajar dari kesalahan Jokowi terkait persoalan sukarelawan, karena itu merusak semangat kesukarelawanan. Sukarelawan jangan justru berlomba meminta jabatan. Seolah kerja yang dilakukan dulu untuk mendapatkan sesuatu," pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyinggung soal dana yang dikelola sukarelawan dan tim penyokong calon (jalur perseorangan ataupun partai).
Setiap sen uang terkait dana politik dan dana kampanye harus memiliki akuntabilitas.
Menurutnya, aturan yang ada sekarang hanya bisa menjangkau dana untuk aktivitas kampanye. Padahal, uang yang beredar lebih dari dan melampaui itu.
"Perludem sudah usul sejak 2012 saat ada fenomena sukarelawan yang kumpulkan, kelola, dan belanjakan uang agar bisa diatur skema akuntabilitasnya. Sayangnya setiap UU Pemilu/Pilkada yang baru disahkan, persoalan ini selalu luput atau sengaja dilewati," ujarnya.
Ia mengusulkan rekening politik seseorang dibedakan dengan rekening pribadinya.
"Diaudit secara reguler dan jangan ditutup selama yang bersangkutan masih punya hasrat politik untuk mencalonkan diri di pilkada/pemilu," tandasnya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved