Kapolri Diminta Evaluasi Operasi Densus 88

Erandhi Hutomo Saputra
26/3/2016 16:39
Kapolri Diminta Evaluasi Operasi Densus 88
(AFP)

KOMISI untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Kapolri Badrodin Haiti untuk melakukan evaluasi terhadap cara operasi Detasemen Khusus (Densus) 88 paska meninggalnya terduga teroris Siyono.

Staf Divisi Hak Sipil dan Politik KontraS, Satrio Wirataru, menilai operasi yang dilakukan Densus 88 tidak melalui prosedur yang ada, pasalnya Siyono yang ditangkap di dekat kediamannya, Desa Pogung, Klaten, Jawa Tengah pada 8 Maret lalu tidak ditunjukkan surat penangkapan, pun saat rumahnya digeledah dua hari setelahnya, keluarga korban tidak mendapat surat penggeledahan. Dalam penggeledahan itu turut disita satu sepeda motor dan beberapa majalah, namun lagi-lagi surat penyitaan tidak diberikan. Operasi tersebut dituding menabrak hukum acara yang berlaku yakni pasal 18 KUHAP dan Pasal 9 Perkap No. 23/2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme.

"Polri harus mengevaluasi dan memperbaiki cara kerja dan kualitas operasi Densus 88 dalam memenuhi prosedur penyidikan yang sah sesuai hukum," ujar Satrio di kantor KontraS, Sabtu (26/3).

Satrio menjelaskan, dalam penangkapan tersebut anggota Densus hanya mengatakan kepada keluarganya jika Siyono ditangkap karena adanya urusan utang piutang. 3 hari paska penangkapan, 11 Maret, polisi menghubungi keluarga untuk pertama kali dan menyatakan jika Siyono telah meninggal dunia, keluarga korban saat itu diminta untuk mengurus kepulangan jenazah di Jakarta.

"Tanpa diberi tahu alasan meninggalnya, hanya diminta untuk tanda tangan berita acara penyerahan jenazah," tandasnya.

Lebih lanjut, kata Satrio, keluarga Siyono bahkan diminta untuk menandatangani surat pernyataan untuk mengikhklaskan kematian Siyono dan tidak akan mengajukan upaya hukum. Orang tua Siyono yang buta huruf diminta tanda tangan di depan Kepala Dusun Brengkungan dan anggota Polres Klaten.

Dalam penjelasan resmi Mabes Polri, mereka berkilah jika Siyono meninggal karena melakukan perlawanan terhadap anggota polisi yang mengawal. Namun saat jenazah dilihat oleh keluarga, Siyono mengalami memar dan lebam di hampir sekujur tubuh, bahkan kuku jari kaki kiri patah serta darah keluar dari belakang kepala.

"Kami menduga ada penganiayaan terhadap Siyono. Dan polisi menyimpulkan Siyono sebagai panglima di struktur terorisme, padahal belum ada keputusan pengadilan," tegasnya.

"Sampai sekarang keluarga korban hanya mendapat uang untuk pemakaman, tidak ada kompensasi yang layak, bahkan informasi yang benar saja tidak diberikan," imbuh Satrio.

KontraS, sebut Satrio, meminta Kapolri untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan penyiksaan tersebut, hal itu sebagai pelajaran akuntabilitas bagi Densus 88.

"Sehingga Densus yang diharapkan untuk anti terir tidak menjadi penebar teror," cetusnya.

Di tempat yang sama, Kepala Divisi Hak Sipil Politik KontraS Putri Kanesia meminta revisi UU Terorisme dikaji ulang, pasalnya, kejadian penyalahgunaan prosedur oleh Densus 88 tidak hanya menimpa Siyono.

Dua orang yakni AP dan NS juga ditangkap pada 29 Desember 2015 di Laweyan Solo. Usai ditangkap, polisi tidak melakukan proses penyidikan, BAP yang menjadi syarat penyidikan juga tidak dilakukan hingga akhirnya keduanya dilepaskan pada sore hari meski telah menerima luka lebam. Mereka juga diminta tidak melakukan upaya hukum.

Dengan melihat dua kasus itu, KontraS meminta DPR terlebih dahulu mendesak Kapolri untuk melakukan audit kepada Densus 88.

Ia khawatir, jika revisi UU Terorisme disahkan dimana terdapat pasal yang memperbolehkan aparat penegak hukum untuk menahan terduga teroris selama 6 bulan, maka akan semakin banyak pelanggaran yang dilakukan oleh Densus 88.

"Dengan interogasi yang lama berpotensi adanya intimidasi dan penyiksaan," tutup Putri. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Aries
Berita Lainnya