Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
ANNA Boentaran melalui tim kuasa hukumnya Muhammad Ainul Syamsu menggugat pasal 263 ayat 1 dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal tersebut mengatur soal mekanisme peninjauan kembali (PK) dalam proses persidangan pidana. Alasannya, pasal tersebut dinilai merugikan Anna selaku pemohon yang juga merupakan istri dari terpidana korupsi yang telah divonis bebas oleh pengadilan negeri dan diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung (MA).
“Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat memperoleh hak-hak yang dijamin berdasarkan Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945. Hilangnya hak ini disebabkan oleh penegakan hukum yang bertentangan dengan Pasal 263 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yaitu pengajuan PK oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum yang menyebabkan suami Pemohon meninggalkan Indonesia sampai hari ini. Sehingga Pemohon kehilangan hak untuk mendapatkan perlindungan diri sendiri dan keluarga,” Tutur Ainul mewakili Anna yang saat itu terlihat tidak hadir dalam sidang perdana di Gedung MK, Jakarta, pada (24/3) Kamis lalu.
Ainul menjelaskan kasus tersebut bermula ketika, suami pemohon Djoko Sugiarto Tjandra pada tahun 2000 menjalani persidangan di Pengadilan Negri Jakarta Selatan atas tuduhan kasus korupsi. Namun, tuduhan itu tidak terbukti sebagai perbuatan pidana sehingga sumai pemohon bebas dari tuntutan pidananya. Termasuk pada tingkat kasasi. Putusan MA pun menguatkan keputusan pengadilan negri yang menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan merupakan perbuatan perdata, dan yang bersangkutan hanya diwajibkan mengembalikan bukti berupa sejumlah uang.
"Namun pada tahun 2009 Jaksa Penuntut Umum mengajukan PK atas putusan MA tersebut," jelas Ainul.
Berdasarkan hal tersebut, Ainul melanjutkan pemohon merasa keberatan atas pengajuan PK yang dinilai tidak memberi jaminan kemanan bagi dirinya selaku istri untuk mendapatkan perlindungan dari seorang suami.
Keputusan Jaksa PU untuk kembali mengajukan PK ketika kasus telah selesai selama 8 tahun bertentangan dengan ketentuan dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP. Pasal tersebut berbunyi 'Terhadapa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. Kembali kepada Mahakamah Agung'. Pemohon menganggap bawhwa pasal 263 ayat 1 tersebut seharusnya dapat benar-benar dimaknai bahwa hanya terpidana dan ahli waris saja yang diberikan hak untuk mengajukan PK. Jaksa PU diminta oleh pemohon agar dilarang untuk mengajukan PK.
"Jika pasal 263 ayat 1 KUHAP dibiarkan tanpa perbuahan dan penegasan, maka kaidah undang-undang yang diatur dalam pasal itu secara kondisional tetap inkonstitusional," tutur Ainul.
Menanggapi permohonan tersebut, majelis hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna, Patrialis Akbar, dan Manahan MP Sitompul selaku Ketua Hakim memberi saran-saran perbaikan kepada pemohon agar permohonan bisa lebih sempurna. Palguna menyarankan agar pemohon memperbaiki petitum yang meminta tambahan makna pasal tersebut karena MK tidak bisa bertindak sebagai positive legislator.
“Arahnya seperti Anda mendorong Mahkamah Konstitusi untuk menjadi positive legislator, tapi lebih baik coba dirumuskan kembali, dipertegas apa yang sesuai dengan yang saudara uraikan," ungkap Palguna.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kerja agar pemohon melakukan perbaikan permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. (OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved