DPR Ada di Zona Aman

Arif Hulwan
24/3/2016 09:57
DPR Ada di Zona Aman
(MI/Susanto)

RENDAHNYA kepatuhan penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaan ke Komisi Pembe­rantasan Korupsi (KPK) perlu ditanggapi secara serius, di antaranya dengan menerapkan mekanisme sanksi yang tegas bagi mereka yang lalai menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).

Pada 17 Maret lalu, KPK memperbarui data penyelenggara negara yang telah menyerahkan LHKPN. Dari 288.369 pejabat negara yang berasal dari eksekutif, legislatif, yudikatif, dan BUMN/BUMD, sebanyak 90.817 pejabat atau sekitar 31,49% yang belum melaporkan harta kekayaan mereka ke KPK.

Menurut peneliti dari Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina, kewajiban untuk menyampaikan LHKPN sudah diatur dalam UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan ­Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Pengaturan yang lebih detail ada pada Keputusan KPK Kep 07/IKPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran Pengumuman dan Pemeriksaan LHKPN. Di aturan itu tercantum kewajiban penyelenggara negara untuk melaporkan harta pada awal menjabat, pertengahan, dan di penghujung. Batas waktunya maksimal dua bulan. Tidak ada sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak mematuhi aturan itu.

"Regulasi LHKPN ada di UU, tapi pengaturannya sangat minimalis. Sanksi hanya administrasi dari institusi terkait. Sampai detik ini pun belum ada yang dikenai sanksi karena tidak melaporkan hartanya atau terlambat atau lapor tapi tidak jujur. Ini membuat DPR tetap di zona aman," ungkap Almas di Jakarta, kemarin.

Lebih mengikat
Pihaknya merekomendasikan pembuatan aturan yang lebih mengikat agar ketidakpatuhan soal LHKPN tidak terus terulang. Ia mendorong pembuatan peraturan pemerintah yang mengatur batas waktu pelaporan dan pelengkapan LHKPN sekaligus sanksi yang lebih nyata.

"Sanksi tidak hanya administratif, tapi yang bisa berdampak seperti penundaan penaikan jabatan dan pemotongan tunjangan, bahkan pencopotan jabatan," cetusnya.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhani menambahkan pihaknya me­rekomendasikan percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset Negara. Di dalamnya mesti memuat pengaturan LHKPN sebagai instrumen untuk merampas aset atau harta penyelenggara negara yang tidak patuh memberikan LHKPN.

"LHKPN bisa jadi pintu masuk penegak hukum untuk menelusuri lebih jauh harta yang tidak dilaporkan. Bisa jadi ada potensi tindak pidana, misalnya pencucian uang. Ini bisa dilakukan perampasan harta," jelas Fadli.

Ahmad Hanafi, peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC), mengatakan perundangan mestinya menyertakan syarat calon anggota legislatif melaporkan harta sebelum maju dalam pemilu. Peraturan sejenis sudah diterapkan dalam UU Pilkada terhadap calon kepala daerah.

Ketua DPR Ade Komarudin sepakat dengan usul pemberian sanksi bagi anggota dewan yang lalai menyerahkan ­LHKPN melalui tata tertib ataupun kode etik DPR. "Bagus (usulan itu)," ujarnya. (Nyu/P-3)

arif_hulwan@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya