Ketua DPR Setuju Pemberian Sanksi

Arif Hulwan
18/3/2016 12:37
Ketua DPR Setuju Pemberian Sanksi
(MI/Susanto)

KETUA DPR RI Ade Komarudin yang karib disapa Akom sepakat dengan usul pemberian sanksi bagi anggota dewan yang lalai menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Akom, pemberian sanksi tersebut dapat mencegah terjadinya korupsi sekaligus meningkatkan kepatuhan. "Bagus. Selama itu untuk perbaikan penyempurnaan, untuk antisipasi agar yang tidak lapor waspada," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Beberapa waktu lalu, Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR Surahman Hidayat sempat mengusulkan pemasukan sanksi bagi anggota yang tak melaporkan hartanya ke KPK dalam Kode Etik Anggota DPR ataupun Tata Tertib DPR.

Tak hanya itu, lembaga antirasywah juga tengah menggodok naskah akademik peraturan pemerintah (PP) yang mengatur sanksi, mulai pemotongan gaji hingga penundaan promosi bagi pejabat negara, termasuk di dalamnya anggota DPR yang tidak menyerahkan LHKPN.

LHKPN seharusnya sudah diserahkan begitu para politikus Senayan dilantik pada 2014. Itu sesuai dengan amanat UU No 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN yang menyebutkan penyelenggara negara wajib melaporkan kekayaannya sebelum dan setelah ia menjabat.

Namun, baru 62,75% anggota DPR yang menjalankan kewajiban menyerahkan LHKPN sesuai dengan Pasal 5 poin 3 UU No 28 Tahun 1999. "Kita harus dorong semua penyempurnaan," cetus Akom yang berasal dari Fraksi Partai Golkar.

Sistem daring
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyebut pihaknya tengah mempersiapkan pengisian LHKPN lewat sistem dalam jaringan (daring). "Yang melalui sistem daring sedang dibangun," kata Laode saat berbincang-bincang, kemarin.

Ia menambahkan, sistem tersebut dibangun untuk menjawab keluhan sejumlah pejabat negara yang merasa kesulitan mengisi LHKPN. Namun, sambung Laode, pengisian LHKPN sebenarnya tidak sulit apalagi KPK dapat memberikan asistensi bila diminta.

"Kalau soal susah, itu hanya alasan. Tim KPK sebenarnya bisa diundang ke DPR. Di sana, tim bisa membimbing secara teknis," lanjutnya.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menambahkan, pihaknya berencana mengubah format pengisian LHKPN seperti surat pajak tahunan.

"Format kita buat gampang. Form A dan Form B. Form A pertama kali diisi, Form B yang pernah isi LHKPN. Kita gabung saja biar mudah," ungkapnya.

Pahala menyatakan ketidakpatuhan penyelenggara negara selama ini tidak bisa dibenarkan karena alasan sulit dan repot. Pasalnya, sejak ketentuan itu diberlakukan, KPK telah menerima lebih dari 250 ribu laporan LHKPN.

"Dibilang repot, kita sudah terima 250 ribuan LHKPN. Masak yang itu bisa? Kalau dibilang repot, argumennya apa? Kalau dibilang susah mengisi pertama, ya memang susah. Ada yang memang kesulitan mengisi formulirnya, tapi ada yang memang tidak niat," tukas Pahala.

LHKPN bisa digunakan KPK untuk mengungkap perkara korupsi. Di antaranya korupsi di Perusahaan Gas Negara, Kementerian ESDM, dan korupsi APBD Langkat. (Cah/MTVN/P-5)

arif_hulwan@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya