Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
SEBAGAI negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India, di Indonesia kebebasan berekspresi sejatinya sudah harus menjadi keniscayaan. Namun, 17 tahun pascareformasi, kebebasan berekspresi masih menjadi persoalan.
Contoh terbaru, pembatalan pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta karya Rahung Nasution di Goethe Institute Jakarta, Rabu (16/3). Pembubaran dilakukan setelah pihak kepolisian menginformasikan akan ada demonstrasi besar dari ormas yang tidak setuju terhadap film itu. Meski demikian, film itu tetap diputar di kompleks Komnas HAM pada hari yang sama.
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsudin Haris menilai tidak terjaminnya kebebasan berekspresi karena rakyat masih dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Masyarakat masih dianggap sebagai sumber konflik sehingga berbagai ekspresi warga negara selalu diawasi.
"Itu yang kita saksikan sehingga pemutaran film pun digagalkan," ujar Syamsudin saat bedah buku ELSAM berjudul Kebebasan Berekspresi di Indonesia: Hukum, Dinamika, Masalah, dan Tantangannya, di Jakarta, kemarin.
Di samping itu, Syamsudin juga menjelaskan bahwa sikap pemerintah terhadap suatu kekuasan kerap disalahgunakan.
Kekuasaan yang seharusnya melayani dan memfasilitasi masyarakat, faktanya justru berpihak dan mengooptasi kalangan tertentu.
Selain itu, imbuhnya, faktor lain yang membuat pemerintah belum fokus pada isu kebebasan berekspresi ialah karena lebih fokus pada reformasi institusional, seperti perubahan konstitusi, pemilu, dan parpol.
"Memang ada Pak Jokowi dan Ahok, tetapi kan tidak cukup hanya Jokowi dan Ahok. Kita butuh sosok Jokowi dan Ahok yang lebih banyak," ungkapnya.
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani menyebut komitmen Presiden Jokowi tentang kebebasan berekspresi selalu ditekankan dalam setiap kunjungan kerja ke daerah. "Misalnya, meminta pemda untuk mencabut perda-perda diskriminatif. Sekitar 3.000 perda diskriminatif diminta Presiden untuk dicabut," katanya.
Ia mengakui pola pikir masyarakat belum berubah, terutama saat mendengar kata ‘kiri’. Masyarakat, kata dia, masih sensitif dan berpikiran bahwa hal itu selalu berhubungan dengan komunis, PKI, dan peristiwa 1965. Begitu pula ketika mendengar Pulau Buru.
Dia mengakui pemerintah belum kompak dalam menyikapi kebebasan berekspresi sehingga kasus intoleran terus meningkat setiap tahun. Ia berharap koordinasi antarinstitusi ditingkatkan.
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Andalas, Shinta Agustina, menilai UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 27 ayat 3 tidak adil bagi masyarakat. Ancaman pidana enam tahun tidak sepadan. (Nyu/P-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved