Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
PERISTIWA penerbitan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 tak bisa lepas dari dua tokoh besar bangsa yang melegenda, Soekarno dan Soeharto.
Sejarah mencatat, Supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden RI pertama Soekarno diberikan kepada Soeharto yang saat itu berpangkat letnan jenderal untuk mengusir paham komunis yang disebarluaskan oleh Partai Komunis Indonesi dari nusantara.
Namun, di mata mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia Fahmi Idris, ada interpretasi lain terkait penerbitan Supersemar itu.
"Setelah diterbitkan banyak interpretasi yang muncul. Ada dua sisi yang mengikuti penerbitan surat perintah itu, terkait pengamanan situasi nasional dan penertiban situasi politis yang dimaknai sebagai proses peralihan kekuasaan secara konstitusional," kata Fahmi, dalam peringatan 50 Tahun Supersemar, di Universitas Mercu Buana, Jakarta Barat, Jumat (11/3).
Proses peralihan kekuasaan yang dimaksud Fahmi adalah dalam pelaksanaan perintah surat tersebut Soeharto dituding hendak menggulingkan pemerintahan Soekarno dalam penertiban situasi keamanan politis.
"Tapi isu itu diredam oleh Bung Karno. 17 Agustus 1966 Bung Karno menyebut Pak Harto melaksanakan perintah Supersemar dengan baik yang kemudian diberi penghargaan atas pelaksanaannya. Itu yang membuat anggapan seolah Soeharto mengambil alih kekuasaan terbantahkan," kata Fahmi.
Fahmi menuturkan Soeharto pernah menolak untuk dilantik sebagai Presiden RI lantaran saat itu Soekarno masih memegang kendali pemerintahan, saat itu MPRS tengah mengadakan sidang istimewa yang dipimpin Jenderal Nasution. Saat itu, kata Fahmi, Soeharto bersikap sangat negarawan.
"Beliau tidak mau karena kalau dilantik melanggar Pasal 9 UUD 1945 bahwa yang seharusnya disumpah itu seorang Presiden. Di situ perdebatan panjang antara Pak Harto dan Jenderal Nasution. Pak Harto menolak karena menghargai Bung Karno sebagai presiden," tutur Fahmi.
Dikatakan Fahmi, Soeharto baru setuju dilantik sebagai presiden setelah Pemilu 1970. Dia mengatakan Soeharto pernah berkata pada orang-orang yang mendesaknya agar mau menjadi presiden bahwa pengangkatannya harus sesuai konstitusional.
"Jika dilantik sebagai presiden dengan cara seperti itu, di kemudian hari Pak Harto juga bisa digulingkan dengan cara seperti itu. Begitulah dia berkata pada sejumlah mahasiswa yang mendatanginya," ungkap Fahmi. (OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved