Masalah Klasik Tetap Hantui Pilkada DKI

Uta/Put/P-4
27/2/2016 05:35
Masalah Klasik Tetap Hantui Pilkada DKI
(ANTARA/Aditya Pradana Putra)

SEBAGAI ibu kota negara, proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur di DKI Jakarta sejatinya menjadi barometer.

Sayangnya, masalah yang sama selalu saja terjadi dalam setiap ajang 5 tahun itu, di antara dalam keakuratan daftar pemilih dan netralitas personel KPU di tingkat bawah.

Pengamat politik sekaligus Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Teppi) Jeiry Sumampow mengungkapkan potensi itu amat mungkin terjadi kembali dalam pilkada serentak tahun depan di DKI Jakarta dan 100 daerah lainnya.

Karena itu, pihak penyelenggara, yakni Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), harus lebih tegas.

"Persoalan yang dulu dan sekarang masih relatif sama dan cenderung akan berulang," ujar Jeiry dalam acara diskusi menyongsong pilkada DKI di Jakarta, Jumat (26/2).

Jeiry melanjutkan mobilisasi penduduk Jakarta bisa membuat pendataan pemilih akan bermasalah. Apalagi, sumber DPT berupa DP4 yang diserahkan pemerintah ke penyelenggara hanya diperbarui KPU menjelang pilkada.

"Saat ini di Jakarta banyak penduduk yang tinggal di apartemen, rumah susun, dan juga lapas yang rentan tidak terdaftar. Belum lagi ada perpindahan penduduk," tukasnya.

Pada kesempatan yang sama, Komisioner KPUD DKI Jakarta, Muhammad Fadhilah, mengungkapkan pihaknya akan berpatokan pada PKPU yang dibuat KPU pusat.

"DKI Jakarta punya UU khusus, yaitu UU 29 Tahun 2007. Salah satunya ialah Pasal 11 yang mengatur soal pemenang."

Ia melanjutkan, jika peraturan mengenai pendanaan pilkada tidak diubah dalam rencana revisi UU 8/2015 tentang Pilkada, pemerintah telah menyiapkan anggaran lewat APBD.

Sementara itu, anggota Bawaslu Provinsi DKI Jakarta, Ahmad Fachrudin, berharap tahapan kampanye pada pilkada DKI bebas dari kampanye hitam.

"Jangan sampai memunculkan isu SARA karena bisa ganggu distabilitas politik."

Pada bagian lain, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, mengatakan tidak akan mengambil cuti untuk berkampanye.

"Ngapain cuti? Nanti kalau di sini tidak ada siapa-siapa malah kacau lagi. Lebih baik kerja saja terus," ujarnya di Balai Kota, kemarin.

Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, Pasal 67 tentang Jadwal Kampanye, para calon gubernur atau bupati atau wali kota pada masa pilkada boleh melaksanakan kampanye 3 hari setelah ditetapkan sebagai calon.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya