Revisi UU KPK, Presiden Punya Dua Opsi

Nur Aivanni
13/2/2016 13:21
Revisi UU KPK, Presiden Punya Dua Opsi
(ANTARA/WIDODO S JUSUF)

PAKAR Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan masih ada dua pilihan bagi Presiden Joko Widodo untuk menolak revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pertama, Jokowi tidak mengirimkan perwakilan pemerintah untuk membahas RUU KPK bersama DPR. Kedua, Jokowi menyatakan penolakannya dalam pengambilan keputusan tingkat akhir di DPR nanti. "Dengan begitu Jokowi telah memenuhi janjinya (dalam pemberantasan korupsi)," ujarnya di Jakarta, Sabtu (13/2).

Ia menilai politik legislasi anggota dewan dalam merevisi UU KPK justru memperlemah KPK dalam jangka pendek dan menghilangkan lembaga antirasywah tersebut dalam jangka menengah. Ia pun mempertanyakan pernyataan anggota dewan dan draf RUU KPK yang disiapkan justru tidak sejalan.

"Antara yang diomongkan dengan yang disiapkan harusnya konsisten. Yang diomongkan (anggota DPR) memperkuat (KPK), tapi yang disiapkan (draf RUU KPK-nya) melemahkan," jelasnya.

Padahal, menurut dia, keberadaan KPK sejauh ini mampu menerobos pakem-pakem dan tonggak kekuasaan baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. "Satu-satunya institusi yang bisa menerobos kebekuan dan ketakutan tersebut hanya KPK," tambahnya.

Sementara itu, politisi Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin mengatakan memang tidak ada larangan untuk merevisi sebuah UU dalam rangka menyesuaikan kondisi perkembangan zaman. "Tapi benarkah (revisi UU KPK) akan buat KPK jadi lebih baik? Pastikan dulu korupsi adalah hal yang biasa-biasa saja, marak atau persoalan kecil? Bagi saya korupsi adalah masalah besar," jelasnya.

Untuk diketahui, empat poin revisi UU KPK antara lain penyadapan melalui persetujuan Dewan Pengawas dan pengadilan, adanya SP3 terkait adanya perkembangan alat bukti, pengangkatan penyelidik atau penyidik harus dari kelembagaan penegak hukum, serta penuntutan diserahkan ke kejaksaan.

Didi menilai poin-poin tersebut justru melemahkan lembaga antirasywah tersebut. Ia menyoroti terkait dewan pengawas yang berwenang dalam hal penyadapan. "Apakah ada jaminan terhadap independensi KPK?" tanyanya.

Pada kesempatan yang sama, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan jika mau merevisi UU KPK harus ada indikator yang mendesak, yakni ada masalah konstitusional dalam UU KPK dan UU KPK tidak efektif. "Dua-duanya itu tidak terpenuhi. Dan KPK sejauh ini cukup efektif," terangnya.

Jika ada kelemahan dalam UU KPK, kata dia, maka tidak harus diatasi dengan melakukan revisi. Menurutnya, masih ada hal lain yang bisa dilakukan yakni melalui KUHAP. "Apakah semua kelemahan itu harus diatasi dengan merevisi UU KPK? Atau bisa saja mengaktivasi hal-hal yang ada di KUHAP. Jadi tidak perlu semua persoalan diselesaikan dengan revisi UU," jelasnya. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Aries
Berita Lainnya