Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU Keamanan Siber) yang tergesa-gesa berpotensi mengganggu demokrasi di Indonesia.
Perlindungan individu disebut masih terabaikan dalam beleid yang akan disahkan akhir September itu.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar mengatakan tujuan dari sistem kemanan siber ialah perlindungan individu.
Dalam penerapannya, sistem tersebut mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
"Nah, persoalannya, tidak ada satu pun aturan dalam RUU tersebut yang menyinggung letak keamanan individu, termasuk perlindungan data pribadi, perangkat, jaringan, serta mekanisme pengawasannya," kata Wahyudi saat menjadi pembicara dalam diskusi soal RUU Keamanan Siber di Universitas Atma Jaya Jakarta, kemarin.
Wahyudi melihat pembentukan RUU yang diinisiasi DPR ini masih sangat prematur. Jika dipaksakan untuk disahkan, ia khawatir terjadi abuse of power.
"Publik akan bertanya-tanya ketika kewenangan yang tidak jelas dan rancu ini diterapkan. Siapa yang mengamankan kepentingan individu hingga jaringan perangkat," kata dia.
Luasnya ruang lingkup ancaman terhadap konten destruktif yang didefinisikan secara subjektif dalam RUU tersebut, menurut Wahyudi, akan menghambat kreativitas dan inovasi teknologi siber.
Komunitas ekonomi kreatif yang tumbuh pesat berkat internet pun, lanjut dia, akan terancam.
"Polemik RUU Keamanan Siber tidak akan terjadi andai DPR secara transparan mengundang pemangku kepentingan, seperti akademisi, pemerintah, masyarakat sipil, dan swasta yang merupakan elemen dari ekosistem internet nasional," ujarnya.
Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja memandang RUU Keamanan Siber bisa mengubah tatanan yang sudah terbangun. "Sebanyak 143 juta warga Indonesia adalah pengguna internet. Artinya, setengah dari penduduk kita berpotensi menjadi korban dari penerapan aturan yang dibuat gegabah wakil rakyat.''
Tanpa regulasi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yuliana Wahyuningtyas menilai RUU Keamanan dan Ketahanan Siber tanpa regulasi perlindungan data pribadi (PDB) yang kuat berpotensi pelanggaran hak asasi manusia.
''Kalau kita bicara dunia siber, ada data sensitif seperti perlindungan data pribadi. Kalau saya tidak sependapat, saya bisa ditangkap,''kata Yuliana.
Menurutnya tanpa adanya perlin-dungan data pribadi dalam RUU itu, semua orang yang tidak sependapat dengan para pemilik kekuasaan dapat dibungkam dengan dalih penangkapan atas pelanggaran undang-undang.
''Apa pun yang kita lakukan bisa direkam negara, ini ngomong apa, temannya siapa saja, fotonya apa saja, pernah pergi ke mana saja, posting apa. Apakah kita menginginkan itu? Saya kira tidak. Kita juga jadi takut memiliki pandangan politik berbeda dengan yang memegang kekuasaan.''
Yuliana berpandangan keamanan dan ketahanan siber dapat diefektifkan apabila negara telah memiliki regulasi yang solid dalam melindungi data pribadi. (Ant/P-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved