Sinkronisasi Kebijakan bakal Tersendat

Putri Anisa Yuliani
17/6/2017 14:30
Sinkronisasi Kebijakan bakal Tersendat
(ANTARA/WIDODO S JUSUF)

PAKAR hukum tata negara, Ferry Amsari, berpendapat dihapuskannya kewenangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam hal membatalkan peraturan daerah (perda) akan memperumit situasi.

Sebab, seharusnya pemerintah pusat tetap memiliki kewenangan executive review terhadap kebijakan di daerah.

Hal itu merupakan salah satu bentuk distribusi kekuasaan pemerintah pusat di daerah.

Meski sudah ada otonomi daerah, pemerintah pusat tetap harus hadir di daerah untuk mengawasi kebijakan daerah.

Sebelum adanya putusan ini, menurut Ferry, kewenangan pemerintah dalam hal executive review sangat membantu untuk meluruskan kebijakan di daerah yang tidak selaras dengan pemerintah pusat.

Namun, dengan adanya putusan MK ini, semua kebijakan pembatalan perda hanya bisa satu pintu melalui judicial review ke Mahkamah Agung.

"Jika executive review ini dihapus, memang akan semakin rumit dan sulit proses mengawasi kebijakan daerah. Mau tak mau putusan Mahkamah Konstitusi memang final dan mengikat. Saya juga kurang memahami sudut pandang MK memutuskan hal tersebut karena keadaan menjadi serbasulit bagi pemerintah pusat," ujar Ferry ketika dihubungi Media Indonesia, Jumat (16/6).

Kemendagri dinilainya memang memiliki kedudukan hukum atau legal standing yang kuat untuk mengajukan judicial review pembatalan perda ke MA.

Namun, hal itu akan menjadi rumit dan prosesnya memakan waktu cukup lama dibandingkan jika kewenangan itu masih berada di Kemendagri.

Pemerintah pusat pun bisa mengambil langkah dengan mengharmonisasikan kembali kewenangan executive review dengan mengalihkannya ke kementerian lain seperti Kementerian Hukum dan HAM.

Sebab, selama ini Kemenkum dan HAM juga memiliki program mengkaji produk-produk hukum yang ada.

Sementara itu, pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin, menyebut tidak hanya Kemendagri yang memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review pembatalan perda ke MA.

Dengan adanya putusan ini, masyarakat umum, komunitas, ataupun lembaga berbadan hukum lainnya bisa mengajukan pembatalan perda yang merugikan atau bersifat bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat.

Irman pun menyebut, berbagai pihak tak perlu khawatir dengan proses di MA yang berlarut.

"Ada aturannya bahwa proses judicial review itu selama-lamanya 180 hari," kata Irman.

Preventif

Saat dihubungi, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri,

Soni Soemarsono, menyebut, dengan adanya pencabutan kewenangan itu, pihaknya cukup menemui kesulitan dalam hal percepatan sinkronisasi dan menyinergikan seluruh produk hukum yang ada di daerah dengan di pusat.

"Kita pada posisi menghormati amar putusan MK karena final dan mengikat. Putusan itu tidak mungkin ditinjau kembali atau digugat," ujarnya saat dihubungi Media Indonesia, Jumat (16/6).

Soni meyebut ada tiga langkah yang bisa ditempuh Kemendagri untuk tetap bisa mengawasi serta mencegah hadirnya perda-perda bermasalah di daerah, salah satunya Kemendagri bisa memberikan peringatan kepada pemda yang memiliki perda bermasalah, seperti diskriminatif, memperlambat investasi, atau merugikan masyarakat.

Peringatan akan diberikan satu sampai dengan tiga kali kepada pemda yang bersangkutan. (P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya