Mantan Ketua BPPN Putu Gede Ary Suta Dipanggil KPK

Surya Perkasa
15/6/2017 11:34
Mantan Ketua BPPN Putu Gede Ary Suta Dipanggil KPK
(MI/Rommy Pujianto)

SATU lagi mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kini giliran I Putu Gede Ary Suta yang diperiksa penyidik.

"Yang bersangkutan dipanggil untuk kasus yang menjerat mantan Ketua BPPN, SAT (Syafruddin Arsjad Tumenggung)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Kamis (15/6).

Febri menyebut pemanggilan Ary Suta masih terkait dengan dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bak Indonesia (BLBI) untuk obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim.

Pemanggilan Ary Suta juga disebutkan tidak berbeda dengan pemanggilan mantan Kepala BPPN yang diperiksa beberapa hari belakangan. KPK memang terus menggali kasus SKL BLBI untuk BDNI yang dinilai merugikan negara Rp3,7 triliun dari segi kebijakan dan aturan.

Salah satunya terkait soal perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan BPPN untuk menghapuskan utang BLBI. Karena itu, penyidik hari ini akan menggali informasi ke Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Lukita Dinarsyah Tuwo.

"Lukita Dinasyah Tuwo sebagai eks officio KKSK juga akan dipanggil untuk kasus dan tersangka yang sama," kata dia.

Kemarin, KPK telah memanggil Glenn MS Yusuf (mantan Ketua BPPN) dan Hadiah Herawatie (tim bantuan hukum). Glenn ditanyai penyidik seputar proses pengambilan kebijakan MSAA dan aspek penagihan kewajiban BDNI sebesar Rp4,8 triliun. Sedangkan Hadiah ditanyai seputar pelaporan kewajibat tersebut.

BDNI merupakan salah satu bank berlikuiditas terganggu karena dampak krisis ekonomi 1998. BDNI mengajukan pinjaman lewat skema Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Namun dalam perjalanannya, BDNI menjadi salah satu kreditor yang menunggak. Pada saat yang bersamaan, pemerintah mengeluarkan kebijakan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang lebih ringan dengan dasar Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2002.

Berdasarkan Inpres tersebut, bank yang menjadi obligor BLBI bisa dinyatakan lunas hutangnya jika membayar lewat 30 persen uang tunai dan menyerahkan aset senilai 70% dari nilai utang.

Syafruddin yang telah menjabat sebagai Ketua BPPN sejak April 2002, mengusulkan ke Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) agar SKL BDNI disetujui pada Mei 2002.

Perubahan litigasi pada kewajiban BDNI jadi rekstruturisasi aset sebesar Rp4,8 triliun. Hasil restrukturidasi adalah Rp1,1 triliun dinilai dapat dipenuhi dan ditagihkan ke petani tambak yang memiliki hutan ke BDNI.

Namun, utang senilai Rp3,7 triliun tidak dibahas dalam proses resutrukturisasi. Sehingga ada kewajiban BDNI sebagai obligor yang belum ditagih.

"Pada April 2004 tersangka SAT selaku ketua BPPN mengeluarkan surat pememenuhan kewajiban pemegang saham terhadap Sjamsul Nursalim," terang Basaria.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut kerugian negara atas kebijakan yang dikeluarkan Syafruddin sekurang-sekurangnya merugikan negara hingga Rp3,7 triliun. Syafruddin diduga telah menguntungkam diri atau orang lain atau korporasi dalam kebijakan penerbitan SKL BLBI untuk BDNI.

Atas perbuatannya, Syafruddin disangkakan telah melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (MTVN/OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya