DPR Bantah Dana Saksi Capai Triliunan

Nov/Nur/P-1
14/6/2017 06:57
DPR Bantah Dana Saksi Capai Triliunan
(Rapat Pansur RUU Pemilu. -- ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/)

KESEPAKATAN pembiayaan pelatihan saksi oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu menuai kontra dari masyarakat sipil. Pasalnya, skema pelatihan dan dana yang dibutuhkan untuk pelatihan belum jelas sehingga akuntabilitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Komite Pemantau Legislatif (Kopel) menaksir dana yang diperlukan untuk membiayai pelatihan saksi peserta pemilu di kurang lebih 540 ribu tempat pemungutan suara (TPS) ialah Rp11,1 triliun.

Hal itu dibantah Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Riza Patria yang memperkirakan dana yang dibutuhkan untuk pelatihan saksi dalam pemilu sekitar Rp375 miliar. Pihaknya pun menantang Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mulai merancang anggaran.

“Angka Rp11 triliun itu meresahkan. Angka itu bukan dari pansus. Kenapa Rp11 triliun, karena itu ada uang transportasi Rp300 ribu. Pelatihan cukup di kantor kelurahan, gratis. Saya tantang Bawaslu untuk membuat anggaran, mana yang lebih murah. Ini setelah saya hitung Rp375 miliar kok,” ujar Riza di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Menurut Riza, kalaupun ada kebutuhan uang transportasi bagi saksi, itu menjadi tanggung jawab partai politik. Bawaslu, sambung dia, dalam hal ini menyusun biaya yang penting-penting saja.

“Seperti buku saku. Itu juga yang penting bisa dibaca dan tidak cepat rusak. Tidak perlu name tag, seminar kit. Buku catatan itu bawa sendiri saja. Tidak perlu juga anggaran untuk panitia yang memberi training. Bawaslu sudah digaji, jangan dobel anggaran.”

Anggota pansus dari Fraksi Partai NasDem Johnny Plate mengimbau keputusan soal dana saksi ditinjau ulang. Ia menilai urusan dana saksi ini tidak kalah pentingnya dengan lima isu krusial dalam RUU Pemilu yang perlu dipikirkan ulang oleh fraksi-fraksi.

Dalam kaitan salah satu lima isu krusial yakni penetapan ambang batas pencalonan presiden, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengingatkan, jika DPR dan pemerintah tetap akan mencantumkan ambang batas presiden, itu tidak sah. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan poin tersebut inkonstitusional.

Feri juga menyoroti poin sistem pemilu. Ia menilai sistem proporsional terbuka merupakan pilihan yang terbaik ketimbang sistem proporsional terbuka terbatas ataupun tertutup. Parpol diharapkan memilih kader-kader parpol mereka yang terbaik. “Sehingga pemilih bisa menentukan pilihan yang lebih mampu bekerja.” (Nov/Nur/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya