Rekrutmen Hakim Rawan Boros

Puput Mutiara
12/6/2017 06:38
Rekrutmen Hakim Rawan Boros
(Ilustrasi)

KEMENTERIAN Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-Rebiro) menyatakan menyetujui prinsip formasi calon hakim tahun 2017 yang seluruhnya berjumlah 1.684 orang. Hal itu sesuai usulan Mahkamah Agung (MA) yang segera menindaklanjuti dengan merekrut calon hakim.

Namun, peneliti Masyarakat Profesi Penilai Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Mappi-FHUI) Aulia Ali Reza mengatakan semestinya MA dapat lebih dulu menunjukkan data kebutuhan calon hakim secara lebih rinci.

“Kan selama ini soalnya selalu bilang MA bahwa kita kekurangan hakim, tetapi belum secara rinci menunjukkan kurangnya di bagian mana? Jangan-jangan kurang karena manajemen distribusi SDM hakimnya yang perlu diperbaiki, bukan dengan serta-merta lakukan rekrutmen,” ujarnya saat dihubungi kemarin.

Ali menaksir jumlah yang telah disetujui Kemenpan-Rebiro tersebut terlalu banyak sehingga berpotensi menambah anggaran baru di luar yang semestinya. Dengan adanya rincian data, MA dapat memperlihatkan ke publik, rekrutmen itu sesuai kebutuhan dan bukan memboroskan anggaran.

Lebih lanjut, Ali menyatakan rincian data tersebut juga dapat menjadi salah satu alasan kuat bagi MA merekrut calon hakim tanpa harus menunggu Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim.

“Kalau MA bisa menunjukkan bahwa benar kebutuhan rekrut hakim seurgen itu, mungkin bisa saja mendahului karena proses pembahasan RUU di DPR kan wallahu a’lam kapan selesainya,” tukas Ali.

Selanjutnya, di dalam proses perekrutan hakim, MA bisa berinisiatif mulai melibatkan Komisi Yudisial (KY) dan dilakukan transparan. Hal itu, kata Ali, bertujuan untuk menjaga kualitas proses rekrutmen di MA, terlebih KY mempunyai fungsi yang juga saling berkaitan. “Konsep ini juga yang diusung dalam RUU Jabatan Hakim,” cetus Ali.

Komisioner KY Farid Wajdi mengatakan perhitungan kebutuhan rekrutmen hakim tidak semata-mata menuruti jumlah yang pensiun atau kosongnya posisi hakim selama beberapa tahun ini, melainkan harus menjawab kebutuhan dunia peradilan sekaligus mencermati distribusi hakim.

“Proses rekrutmen harus benar-benar menerapkan partisipasi publik serta akuntabilitas yang sesungguhnya. Sebab, beban menyeleksi 1.600-an hakim bukan hal ringan.”

Tidak sekali pukul
Ditegaskan pula oleh Farid, perekrutan hakim mesti meng­utamakan kualitas. Jika tidak bisa memenuhi jumlah tersebut, hal itu tidak terlampau menjadi persoalan asalkan yang tersaring ialah individu-individu yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi hakim.

“Jangan korbankan kualitas (hakim) untuk kuantitas, sebisa mungkin tidak fokus pada pemenuhan kuota 1.600-an orang atau mungkin jumlah 1.600-an orang bisa juga dibagi dalam beberapa batch, tidak dalam satu kali pukul,” imbuhnya.

Terlepas dari itu, Farid mengimbau proses seleksi tetap menunggu selesainya RUU Jabatan Hakim. Sebagaimana UU Badan Peradilan, mulai UU No 49/2009, UU No 50/2009, UU No 51/2009 disebutkan status hakim ialah pejabat negara. Konsekuensinya ialah proses seleksinya dilakukan layaknya sebagai pejabat negara bukan PNS. (P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya