Birokrasi Darurat Rangkap Jabatan

Puput Mutiara
07/6/2017 07:22
Birokrasi Darurat Rangkap Jabatan
(Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (PuKat) Universitas Gadjah Mada Oce Madril -- Dok. MI/Immanuel Antonius)

HASIL survei Ombudsman RI pada 2017 menyebutkan 222 dari 541 jabatan komisaris dirangkap pelaksana pelayananan publik yang notabene pejabat struktural pemerintah. Padahal, Pasal 17 (a) Undang-Undang No 25/2009 tentang Pelayanan Publik jelas memuat larangan rangkap jabatan bagi pelaksana.

PNS paling banyak menjabat komisioner berasal dari lingkungan kementerian sebanyak 93 orang, disusul perguruan tinggi 12, lembaga 8, pemerintahan daerah 5, TNI 5, Polri 1, dan kejaksaan 1.

Melihat data tersebut, Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (PuKat) Universitas Gadjah Mada Oce Madril secara tegas menyatakan rangkap jabatan komisaris oleh pejabat eselon 1, 2, dan 3 di pemerintahan sudah dalam kondisi darurat.

“Ini sudah darurat dan dipastikan beban rangkap jabatan menjadikan pekerjaan tidak maksimal. Presiden mestinya bersikap. Ini momentum untuk reformasi birokrasi,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Rangkap Jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Jakarta, kemarin.

Diungkapkan Oce, rangkap jabatan yang sejatinya sudah menjadi rahasia umum terjadi di kalangan para birokrat baik ditunjuk secara profesional maupun diberikan atas unsur kedekatan politik. Ironisnya, dari segi aturan, masih terdapat celah hukum.

Semisal UU No 19/2003 tentang BUMN yang memberikan delegasi kewenangan pengaturan oleh Kementerian BUMN. Lebih lanjut disebutkan, jabatan komisaris tidak boleh dari pengurus parpol, menurut Ode, bisa saja hal tersebut ditafsirkan berbeda.

“Secara bahasa hukum kalau pengurus enggak boleh berarti anggota boleh. Artinya kalau ingin jadi komisaris cukup mundur dari pengurus dan jadi anggota saja, toh di UU BUMN boleh,” tukasnya.

Oleh karena itu, tegas Oce, regulasi yang mengatur perkara rangkap jabatan dalam hal ini UU Pelayanan Publik harus benar-benar ditegakkan. Di samping itu, kebijakan lain seperti Peraturan Pemerintah No 11/2017 tentang Manajemen PNS juga seyogianya memuat masalah rangkap jabatan.

Cenderung korup
Senada, Komisioner Aparatur Sipil Negara (KASN) Tasdik Kinanto menyatakan persoalan rangkap jabatan sebenarnya bisa saja diatur dalam PP Manajemen PNS meski pada kenyataannya hingga kini belum ada aturan tersebut sehingga masih banyak PNS yang merangkap jabatan komisioner.

“Pada dasarnya ASN yang merangkap jabatan tidak mungkin melakukan tugas secara efektif. Ke depan, kita harus serius urus negara sehingga rangkap jabatan harus diakhiri,” cetusnya.

Di kesempatan yang sama, Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai berpendapat rangkap jabatan berkorelasi terhadap pelayanan publik. Implikasinya, negara dengan pelayanan publik yang rendah cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi.

Di Indonesia, tingkat kepatuhan pemerintah dalam memenuhi standar pelayanan publik masih rendah. Khusus pada tingkat kementerian, 44% berada di zona hijau (kepatuhan tinggi), 48% zona kuning (kepatuhan sedang), dan 8% di zona merah (kepatuhan rendah).

“Jadi dampaknya sangat luas terutama tingkat kepatuhan dalam memenuhi standar pelayanan publik yang masih sangat jauh dari target RPJMN sebesar 80%,” tandasnya. (P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya