Saksi Ahli Beberkan Banyak Kejanggalan Lainnya di Proyek KTP-E

Puput Mutiara
05/6/2017 19:11
Saksi Ahli Beberkan Banyak Kejanggalan Lainnya di Proyek KTP-E
(Dua terdakwa kasus korupsi pengadaan E-KTP Irman (kanan) dan Sugiharto (kiri) bersiap menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (22/5). MI/ BARY FATHAHILAH)
SIDANG kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-e) dengan terdakwa Irman dan Sugiharto kembali digelar di Jakarta, Senin (5/6). Tiga saksi ahli yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum membeberkan hasil temuan yang menunjukkan ketidaksesuain terkait pengadaan KTP-e di lapangan.

Berdasarkan keterangan saksi ahli bidang komputer dan teknologi informasi yang merupakan dosen Universitas Indonesia, Bob Hardiansah Sahbuddin, beberapa aspek yang tidak sesuai mulai dari proses identifikasi ketunggalan.

"Menurut aturan itu harusnya pakai finger print karena data biometric yang disimpan dalam KTP-e ialah yang terbaca lewat finger print. Tapi di lapangan yang dipakai bukan cuma finger print, yang utama justru eye risk sehingga kalau yang eye risk sudah matching itu yang diutamakan," ujar Bob di hadapan persidangan.

Akibatnya, terang Bob, seseorang yang nakal bisa saja mengambil kesempatan untuk mendapatkan dua identitas KTP-e secara langsung cukup hanya dengan melakukan pemindaian (scanning) eye risk dengan orang yang berbeda namun menggunakan finger print yang sama.

Ia pun mengungkapkan bahwa fakta di lapangan hanya ada sekitar 7 juta KTP-e yang telah diaktivasi dan diverifikasi. Itu artinya, puluhan juta KTP-e yang telah dibagikan ke masyarakat tidak terverifikasi.

Bukan itu saja, printer yang digunakan untuk mencetak KTP-e juga didesain khusus dengan software untuk KTP-e. Alhasil menjadi semacam ketergantungan dari satu jenis printer yang diketahui bermerek Fargo.

"Tintanya pun demikian, dibuat khusus sehingga tidak bisa menggunakan tinta yang ada di pasaran. Selain berpotensi monopoli, ini jelas melanggar," cetusnya.

Eko Fajar Nur Prasetyo, Ahli Chip yang juga dihadirkan sebagai saksi ahli menerangkan hasil analisa fisik terhadap chip KTP-e. Terbukti bahwa chip yang dipakai pada saat pengadaan KTP-e berbeda dengan prove of concept (PoC).

Lebih lanjut, perbedaan signifikan yakni dari segi cost (biaya). Dilihat dari harga produksi, biaya yang dikeluarkan untuk PoC sejatinya bisa lebih mahal 1,5 sampai 2 kali lipat dari pengadaan.

"Jadi memang lebih murah dari pengadaan. Tapi tentu untuk bisa menentukan harga wajar sekitar Rp2.700 itu sulit, ada banyak faktor di dalam menentukan cost termasuk fase desain dan mass production," tukasnya.

Namun di sisi lain, saksi ahli bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah Harnawan Kaeni justru menekankan kepada proses pengadaan barang dan jasa atau dalam hal ini KTP-e.

Ia menilai ada beberapa kejanggalan termasuk saat penyusunan anggaran yang seyogianya perlu dilakukan survei perbandingan terlebih dahulu oleh satuan kerja yang akan menggunakan pengadaan barang/jasa tersebut atau Ditjen Kependudukan.

"Kalau itu tidak dilakukan dan terjadi kesalahan yang terbukti disengaja bisa kena pidana. Apalagi sampai merugikan negara," tandasnya. (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya