RUU Pemilu tidak Propemberantasan Korupsi

Erandhi H Saputra
05/6/2017 06:00
RUU Pemilu tidak Propemberantasan Korupsi
(ANTARA/WAHYU PUTRO A)

KORUPSI politik merupakan akar dari masalah korupsi yang terjadi di Indonesia.

Namun, pembenahan sistem pemilu sebagai langkah stra-tegis pemberantasan korupsi pun belum serius dilakukan dalam pembahasan rancangan undang-undang pemilu.

Hal itu diungkapkan oleh Deputi Sekjen Transparency International-Indonesia Lia Toriana, di Jakarta, kemarin.

Ia memaparkan selama ini kontestasi politik melalui pemilihan umum (pemilu) menjadi celah masuk kejahatan korupsi.

Persoalan politik uang, misalnya, masih relatif tinggi dilakukan.

Ia menjelaskan praktik politik uang tidak hanya dilakukan oleh peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara sampai pemilih.

Ironisnya, produk kebijakan melalui UU Pemilu nyatanya belum optimal menjerat pelaku dan menyelesaikan persoalan korupsi politik di Indonesia.

DPR dan pemerintah terpilih yang tak rentan korupsi ditentukan dari seberapa kuat regulasi pemilu berkomitmen terhadap semangat antikorupsi.

Seberapa kuat regulasi pemilu mencegah intervensi orang-orang dan pendanaan yang dekat dengan motif dan hasil korupsi, pemerintahan bersih dari korupsi akan lebih mungkin dicapai.

"Pembahasan RUU Pemilu semestinya memastikan bahwa proses demokrasi melalui pemilu bertujuan untuk mendorong perbaikan kinerja DPR, bukan justru melanggengkan kuasa para pejabat dan politisi yang korup," tambah Lia.

Ia mencatat ada tiga isu krusial yang mencerminkan bahwa pembahasan RUU Pemilu mengabaikan aspek pemberantasan korupsi.

Pertama, transparansi dan akuntabilitas kinerja DPR yang selama ini dinilai minim, justru akan ditambah anggotanya.

"Menurut hitungan Kemendagri, setiap anggota DPR membutuhkan Rp2 miliar setiap tahunnya. Maka, penambahan kursi DPR justru menambah beban negara Rp30 miliar per tahun," ujarnya.

Kedua, transparansi keuangan parpol tak dijadikan syarat kepesertaan pemilu.

Aspek pembenahan kontestasi pemilu untuk pemerintahan terpilih yang bersih dari korupsi tak masuk sebagai isu krusial yang diprioritaskan Pansus dan Timsus RUU Pemilu.

Terakhir, pengetatan batasan dan keterbukaan dana kampanye tak masuk isu krusial yang diprioritaskan DPR.

Asas keadilan

Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy menyatakan bahwa penambahan dan realokasi kursi untuk menjamin asas keadilan.

Ditegaskannya, tidak boleh ada daerah yang under represented sementara daerah lainnya over represented.

"Pansus bersepakat asas keadilan harus menjadi pedoman di dalam menyusun penyebaran daerah pemilihan dan penentuan wakil dari setiap provinsi," ujarnya.

Untuk itulah, lanjut Lukman, penambahan 15 kursi baru diprioritaskan untuk luar Pulau Jawa, mengingat secara komulatif terjadi juga kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa.

Jumlah anggota DPR dari Pulau Jawa, sebanyak 306 anggota setara dengan 55%.

Sementara di luar itu, mewakili 29 provinsi, hanya 45% anggota DPR-nya.

Karena itu, berdasarkan formula ini, 15 kursi tambahan bisa didistribusikan ke Provinsi Kaltara sebanyak 3 kursi, Riau 2 kursi, Lampung 2 kursi, Kalbar 2 kursi, Papua 2 kursi, Sumut 1 kursi, Kepulauan Riau 1 kursi, Sulawesi Tenggara 1 kursi, dan Sulawesi Barat 1 kursi.

"Jika formula ini diterapkan, kesenjangan Jawa terhadap di luar Jawa itu bisa kita perkecil menjadi 53% berbanding 47%," ujarnya. (Nov/P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya