Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
ASOSIASI Pengusaha Hutan dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Beberapa pasal yang digugat dalam UU 32/2009 antara lain Pasal 69 ayat 2, Pasal 88, dan Pasal 99. Sementara itu, dalam UU 41/1999 mencakup Pasal 49.
Kuasa hukum pemohon, Refly Harun, dalam sidang pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin, meminta Pasal 69 UU 32/2009 dihapuskan karena memuat unsur perizinan bagi pembakaran hutan untuk membuka lahan.
Menurut dia, memang ada tradisi kearifan lokal yakni pembukaan lahan dengan pembakaran lahan dan pasal itu mengakomodasi hal tersebut. Akan tetapi, jika terjadi kebakaran lahan akibat pembakaran yang tidak terkendali, pengusaha yang memiliki hak konsesi justru dirugikan karena dipersalahkan.
Akibatnya, pengusaha yang tidak turut campur dalam pembakaran karena ada larangan bagi pengusaha justru yang harus menanggung kerugiannya. “Pemohon meminta agar majelis hakim bisa menghapus seluruhnya pasal ini,” kata Refly dalam sidang yang diketuai hakim panel Manahan Sitompul itu.
Tututan serupa diajukan terhadap Pasal 49 UU 41/1999. Pasal 88 digugat karena pengusaha harus mempertanggungjawabkan pencemaran maupun kerusakan lingkungan tanpa ada pembuktian kesalahannya. Konsep itu dikenal dengan tanggung jawab mutlak atau strict liability yang menyebabkan pengusaha bisa dijerat sanksi pidana maupun perdata tanpa terbukti melakukan kesalahan dan hanya berbekal ‘turut mengetahui’ dan tanpa unsur kesengajaan atau perbuatan.
Untuk Pasal 99, pemohon meminta pasal itu dihapus seluruhnya atau diubah dengan memperjelas frasa kelalaian. Pasal itu dapat menghukum pengusaha yang berbuat kelalaian yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan dan kerusakan alam.
Dalam sidang, hakim panel Suhartoyo meminta kuasa hukum maupun pemohon dapat menggali dan mengelaborasi lebih dalam mengapa muncul pasal strict liability tersebut.
Selain hal itu belum dijabarkan dalam tuntutan, pihaknya berpendapat para pembuat undang-undang tidak mungkin membuat pasal tanpa ada hubungan sebab-akibat. Prinsip itu kuat dianut produk hukum Indonesia.
Selain itu, Suhartoyo pun meminta pemohon memikirkan kearifan lokal yang juga dilindungi UUD 1945. “Ada hukum adat yang harus kita lindungi. Pemohon apakah bisa membuat formula yang baik yang sama-sama bisa meringankan,” tuturnya.
Sidang lanjutan dijadwalkan akan dilangsungkan pada 9 Juni mendatang dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan. (Put/P-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved