Pemetaan Lumpur Lapindo Krusial

Nyu/P-2
30/5/2017 06:39
Pemetaan Lumpur Lapindo Krusial
(Sejumlah kapal keruk dan kapal penyedot lumpur melakukan aktivitas di kolam penahan lumpur lapindo titik 42 Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (25/5). -- ANTARA FOTO/Umarul Faruq)

SUDAH 11 tahun berlalu sejak bencana lumpur Lapindo pertama kali menerjang pada 29 Mei 2006, hingga kini pemerintah masih belum bisa menghentikan semburannya.

Menurut komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron, tindakan menghentikan semburan itu semakin ditinggalkan. Akibatnya hingga kini tidak diketahui sampai kapan semburan akan berlangsung.

Nurkhoiron pun meminta pemerintah untuk tidak hanya fokus pada ganti rugi korban bencana, tetapi juga melakukan pemetaan di bawah permukaan lumpur La­pindo. Pemetaan itu bertujuan menentukan dasar tindakan penyelesaian lumpur Lapindo oleh pemerintah.

“Perlu uji seismik untuk mengkaji sumber munculnya luapan lumpur di bawah tanah dan bisa dilihat sampai kapan lumpur selesai, berapa tahun, ini harus segera dilakukan,” ujar Nurkhoiron saat memberikan penjelasan tentang Audit HAM atas Tanggung Jawab Negara dan Perusahaan Dalam Upaya Pemulihan Korban Bencana Lumpur Lapindo 2006-2017 di Gedung Komnas HAM Jakarta, kemarin.

Dalam hasil audit Komnas HAM itu juga ditemukan bahwa selama ini BPLS (sejak Maret 2017 sudah dibubarkan) tidak memiliki data-data jumlah korban lumpur Lapindo.

Data-data itu meliputi jumlah korban yang belum menerima pemulihan yang menggunakan mekanisme jual beli, jumlah korban yang belum mendapatkan hak ke­sejahteraan seperti sebelum bencana, jumlah korban yang kehilangan pekerjaan, perumahan, kesehatan dan pendidikan, serta jumlah kelompok rentan, anak-anak yang kehilangan haknya.

Dalam penanganan lumpur Lapindo, pemerintah telah menerbitkan perpres pembubaran BPLS yang tugasnya akan diambil alih Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Selain itu, pemerintah memutuskan tidak menalangi ganti rugi 30 perusahaan yang menjadi korban semburan lumpur Lapindo.
Estimasi kerugian yang mereka derita sebesar Rp701,68 miliar, terdiri atas Rp542,75 miliar aset tanah (475,516 m2) serta Rp158,92 miliar aset ba­ngunan (66,22 m2).

“Pemerintah tidak berpikir untuk menalangi itu. Yang ditalangi itu masyarakat,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, beberapa waktu lalu. (Nyu/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya