Lebih Elok Jokowi-JK Tetap Dwitunggal

Christian Dior Simbolon
25/5/2017 18:54
Lebih Elok Jokowi-JK Tetap Dwitunggal
(Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla)

HUBUNGAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dikabarkan kembali memanas pasca-Pilgub DKI Jakarta. Muasalnya, perbedaan pilihan politik pada Pilgub DKI Jakarta belum lama ini.

Jokowi bersama gerbong PDI-Perjuangan mendukung petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Di lain sisi, Kalla tidak dapat dimungkiri menyokong gubernur dan wakil gubenur terpilih Anies-Baswedan-Sandiaga Uno.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menilai, perbedaan politik di tingkat elite merupakan hal yang lazim di era demokrasi saat ini. Namun, perbedaan tersebut tidak semestinya memecah belah pemerintahan atau merusak hubungan keduanya sebagai pemimpin tertinggi negara.

"Sekarang kan bukan zamannya lagi politik sentralistik seperti era Soeharto. Enggak bisa lagi yang berbeda pilihan politik itu disingkirkan. Pusat kekuasaan itu menyebar di mana-mana. Jadi enggak masalah kalau pilihannya berbeda. Tapi ada batasnya bagi presiden dan wapres bermain politik praktis. Cukup di masa kampanye dan pemilu saja," ujar Indria saat dihubungi Media Indonesia di Jakarta, Kamis (25/5).

Indria mengatakan, keduanya mesti tetap kompak meskipun kerap berseberangan dalam beragam isu politik. Kesepakatan pembagian tugas, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang dicapai keduanya saat mengawali masa jabatan harus tetap dijalani hingga akhir.

"Kendali ada di tangan Jokowi-JK. Keduanya mesti tetap dwitunggal hingga akhir masa jabatan. Koridor atau format kepemimpinan yang disepakati di awal tidak boleh dirusak oleh isu-isu yang dilemparkan orang-orang yang tidak suka republik ini solid," cetusnya.

Menurut Indria, pada dasarnya, Jokowi dan Kalla saling melengkapi. Kalla hadir dengan segudang pengalaman sedangkan Jokowi membawa ide-ide segar dan pembaharuan. Jika perbedaan politik antara keduanya bisa dikelola dengan baik, Indria optimistis, pemerintahan keduanya bisa terus menghasilkan terobosan-terobosan baru dalam membangun negeri.

Dihubungi terpisah, analis politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, meskipun terlihat akur di depan publik, hubungan Jokowi-JK saat ini tidak terlalu harmonis. Hal ini disebabkan kekhawatiran berlebihan dari Jokowi akan munculnya matahari kembar di kabinet jika Kalla terlalu berperan dalam pemerintahan.

"Kalau untuk kepentingan (Pemilu) 2019, Jokowi sebenarnya tidak perlu khawatir. JK adalah orang yang aktif dan masih punya pengaruh politik kuat. Tapi, ambisi maju di 2019 sudah tidak ada. JK juga bukan ketua umum parpol. Jadi, di sisi institusional tidak mungkin menggerakkan Golkar," ujarnya.

Karena itu, menurut Arya, akan lebih baik jika Jokowi memperbaiki komunikasi yang tersumbat dengan Kalla. Selain itu, tidak ada salahnya Jokowi memberikan peran lebih besar bagi Kalla dalam kebijakan-kebijakan yang strategis.

"Salah satu cara ialah dengan menugaskan Kalla untuk menggelar komunikasi politik dengan tokoh-tokoh Islam untuk menyejukkan kembali suasana yang panas pasca-Pilgub DKI. Sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia, JK punya kompetensi. Seharusnya peran itu diberikan ke JK," jelasnya.

Berkaca pada panasnya suhu Pilgub DKI Jakarta, menurut Arya, Jokowi dan Kalla juga perlu menahan diri untuk tidak terlibat dalam pilkada-pilkada besar. Ia khawatir, perbedaan politik di pilkada bakal merusak hubungan di level eksekutif dan memengaruhi psikologi menteri-menteri Kabinet Kerja.

"Institusi kepresidenan harus tampak akur. Kalau dipersepsikan retak oleh publik ini akan mempengaruhi pandangan publik terhadap kinerja pemerintahan dan psikologi para menteri. Jadi, disudahi saja. Biarkan kandidat-kandidat bertarung tanpa intervensi," tandasnya. (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya