Kelompok Ekstremis Masih Berpotensi Masuk Ke Indonesia

Yanurisa Ananta
23/5/2017 23:37
Kelompok Ekstremis Masih Berpotensi Masuk Ke Indonesia
(Ilustrasi)

PENGAMAT Terorisme Al-Chaidar mengatakan, potensi kelompok ekstremis memasuki Indonesia masih besar. Pasalnya, jumlah simpatisan Islamic State (IS) di Indonesia saat ini berjumlah enam juta orang. Seluruhnya tersebar di seluruh Indonesia dengan perekrutan secara masal. Kebanyakan dari mereka mengambil dari jaringan Jamaah Islamiyah.

"Di Indonesia potensinya cukup besar. Jumlah mereka sudah cukup banyak di Indonesia sebanyak enam juta orang. Mereka kebanyakan melakukan perekrutan secara massal dengan ulama-ulama mereka sendiri," kata Al Chaidar, Selasa (23/5).

Daerah-daerah yang berpotensi disusupi kelompok ekstremis di antaranya di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, SUlawesi Tengah, Kalimantan Timur, SUmatera Barat, Aceh, Riau dan Batam. Di kawasan Jakarta sendiri daerah yang berpotensi tersebut adalah Bekasi dan Tangerang.

Al Chaidar mengatakan, penyebaran kelompok ekstremis tersebut kebanyakan ada di daerah Barat dan Tengah Indonesia. "Itu memang jalur lama dari Jamaah Islamiyah. Sementara di Timur mereka lebih mercaya dan mengandalkan kelompok mujahidin Indonesia Timur," tandas Al Chaidar.

Bersamaan dengan itu, saat ini di Marawi, Filipina, tengah terjadi baku tembak antara kelompok ekstremis Maute dengan tentara pemerintah Filipina. Maute merupakan kelompok ekstremis dengan perekrutan sistem klan dimana dipimpin oleh Ibrahim Maute. Kelompok tersebut, dikatakan Al Chaidar telah berafiliasi dengan IS.

Kemungkinan Maute menduduki beberapa titik di Filipina sebagai basis itu mungkin saja terjadi. Sebab, kelompok Maute sudah berdiri sejak tahun 1984. Dari tahun itu Maute telah memiliki basis-basis teritorial di daerah Marawi. Namun, hanya sebatas area itu saja lantaran hanya melibatkan lingkaran kekeluargaan klan Maute.

"Maute memang sudah memiliki basis-basis teritorial yang banyak di daerah Marawi. Kebanyakan daerah-daerahnya di pinggiran. Tapi terbatas itu saja tidak seperti Abu Sayyaf yang banyak basisnya," imbuh Al Chaidar.

Presiden Filipina Duterte pun seolah tak mampu menangani persoalan kelompok radikalisme yang menjalar di negaranya. Di sisi lain, Duterte mampu memberantas narkoba di Filipina. Menurut Al Chaidar, jaringan teroris di Filipina sudah terlalu luas, berbeda dengan jaringan narkoba. Basis sosial yang dimiliki jaringan teroris lebih besar ketimbang kelompok narkoba.

"Jaringan kelompok radikal memiliki kaki tangan di berbagai tempat dari mulai Sabah sampai Indonesia. Jaringannya sudah begitu luas. Dari segi usia mereka lebih tua karena basis agama dan keluarga. Itu susah dihilangkan dan kelompok itu terus ada belum ada yang bisa menangani kecuali pemerintah," paparnya.

Meski demikian kekuatan kelompok Maute lebih kecil dibanding Abu Sayyaf. Perbedaan antara keduanya ada pada kekerabatan. Sementara, Abu Sayyaf kekerabatannya tidak begitu kuat namun jaringannya lebih luas. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Aries
Berita Lainnya