Selisih Suara Perlu Perluasan

Putri Anisa Yuliana
23/5/2017 06:59
Selisih Suara Perlu Perluasan
(Diskusi dengan tema "MK bukan Mahkamah Kalkulator: Potret Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada Serentak 2017 di Mahkamah Konstitusi" di Jakarta, Senin (22/5). -- MI/M. Irfan)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) dinilai cukup baik dalam mempro­ses sengketa pilkada, khususnya yang menyangkut empat daerah, yakni Kabupaten Tolikara, Intan Jaya, Puncak Jaya, dan Kepulauan Yapen.

Perubahan patokan penghitungan selisih suara juga sedikit melonggarkan syarat selisih suara sehingga meningkatkan rasa keadilan. Apresiasi tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam diskusi bertajuk MK bukan Mahkamah Kalkulator, di Bakoel Kopi Cikini, Jakarta, kemarin.

Tita mengakui kebijaksa­naan MK untuk tidak melihat selisih suara sebagai patok­an pemrosesan gugatan di keempat daerah memang didasarkan pertimbangan suara tidak lengkap. “Nah, ini yang harus diperbaiki, jika TPS lengkap tapi terjadi kecurangan, berarti tetap tidak akan diproses jika ambang batasnya tidak mememenuhi,” ujarnya.

Selain itu, Titi merekomendasikan KPU RI bisa melembagakan proses mengawal permasalahan setelah proses pemungutan suara. “Ini sudah baik ketika penyelenggara ikut meyurati MK agar gugat­an diproses karena mereka juga tidak mampu membuktikan kecurangan yang ada atau mampu tapi tidak berdaya,” tutur Titi.

Lebih lanjut, Titi berharap ambang batas selisih suara sebagai syarat pemrosesan sengketa pilkada di MK bisa ditingkatkan. Meski mengpresiasi langkah MK yang mengubah format penentuan ambang batas, saat ini banyak gugatan perselisihan yang mentah hanya karena ambang batas yang rigid.

Pada pilkada serentak 2015, MK menggunakan perolehan suara pemenang pilkada untuk dijadikan dasar pengalian persentase ambang batas. Namun, pada pilkada serentak 2017, aturan itu diubah dengan menjadikan jumlah suara sah sebagai patokan.

“Saya harap ke depan bisa ada perluasan lagi bagi ambang batas. Agar memperoleh keadilan di MK, tidak semata persoalan angka.”

Menurut Titi, masih kecilnya ambang batas yang digunakan MK membuat pilkada berisiko dicurangi sejak awal, baik oleh tim sukses maupun pasangan calon. MK hanya akan melihat ambang batas dan tidak melihat bagaimana proses pemilihan itu di dae­rah tertentu.

Sulit dibuktikan
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Adam Mulya mengungkapkan manipulasi daftar pemilih serta keberpihakan penyelenggara pemilu jadi dua isu yang paling banyak diadukan ke MK terkait dengan Pilkada 2017. Jumlah aduan masing-masing 19 aduan dan 16 a­duan. Pengurangan suara dan politik uang hanya enam aduan.

Kecenderungan itu diperkirakan masih akan terjadi dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Komisioner KPU RI periode 2017-2022 Hasyim Ashari menyebut pihaknya akan menyiapkan antisipasi kendati tetap bakal menemui kendala nantinya.

“Isu penyalahgunaan dan pelanggaran kode etik adanya keberpihakan cukup sulit untuk dibuktikan sampai kini. Sementara itu, untuk isu daftar pemilih, kami memang cukup waspada akan terjadinya hal tersebut meski di MK tidak terbukti,” ujar Hasyim.

Dalam Pilkada 2017, ada 53 pengaduan yang didaftarkan ke MK dan hanya 49 aduan yang diproses. (P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya