Alumni UI Desak Jaga Persatuan

Golda Eksa
19/5/2017 09:31
Alumni UI Desak Jaga Persatuan
(Sejumlah mahasiswa mengikuti aksi damai Bela NKRI di Denpasar, Bali, Kamis (18/5)---ANTARA/Fikri Yusuf)

MARAKNYA pelbagai aksi dan pernyataan intoleran serta adanya praktik-praktik diskriminatif dengan menggunakan sentimen agama membuat perkembangan kondisi kebangsaan sangat mengkhawatirkan. Potensi perpecahan dalam masyarakat harus dicegah.

Demikian pernyataan Kesatuan Aksi Keluarga Besar Universitas Indonesia (KA KBUI) kepada wartawan di Cikini, Jakarta Pusat, kemarin (Kamis, 18/5). Pernyataan tersebut disampaikan Reinhard Sirait, Wisnu Surya Pratama, Marthin Elia, Donny Ardiyanto, dan Dewi Astuti.

"Hari ini terjadi kegelisahan. Dulu (reformasi) kami berjuang membebaskan negeri ini dari tekanan dan kebebasan berpendapat atas otoritarianisme. Namun, sekarang kita takut dan merasa terintimidasi karena adanya politik identitas yang sudah sampai level darurat," ujar Reinhard Sirait. KA KBUI memandang perkembangan itu bukanlah sesuatu yang didambakan ketika pekik reformasi dikumandangkan 19 tahun lalu.

KA KBUI pun menyerukan tiga hal untuk mencegah potensi perpecahan dalam masyarakat Indonesia. Salah satunya menolak penggunaan pasal serupa Pasal 156a KUHP. "Pasal tersebut adalah produk hukum yang antidemokrasi, melanggar HAM, serta nilai-nilai keberagaman Indonesia," ujar Reinhard.

KA KBUI juga mendesak pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif mencabut serta merevisi UU Pencegahan Penodaan Agama dan Pasal 156a KUHP. Bisa pula menetapkan moratorium atas ketentuan perundangan itu.

KA KBUI menilai norma dan aturan tersebut bermasalah serta cenderung menjadi akar permasalahan serius yang mengancam kerukunan umat beragama di Indonesia.

"Terakhir, kami meminta segenap rakyat Indonesia bersatu padu dan tidak kenal lelah ataupun gentar memperjuangkan cita-cita reformasi serta terus merawat keberagaman Indonesia," kata dia.

Proses panjang
Marthin Elia menambahkan politik identitas tidak datang begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup panjang. Walhasil, situasi seperti penggunaan Pasal 156a KUHP yang sangat subjektif pun kerap dimanfaatkan kelompok masyarakat dan kelompok politik untuk melakukan diskriminasi.

"Pasal 156a KUHP sudah tidak layak diterapkan. Kita mengusulkan untuk menerbitkan perppu untuk membahas dan melakukan penjelasan komprehensif. Pasal 156a juga tidak serta-merta dicabut, tapi direvisi agar bisa lebih mengayomi kepentingan kelompok masyarakat."

Petisi yang berisi seruan untuk mencegah timbulnya perpecahan itu sudah banyak mendapat dukungan, terutama dari mahasiswa dan alumni UI. Sejauh ini tercatat ada 1.168 tanda tangan dan diprediksi bakal terus bertambah untuk menyokong petisi tersebut.

"Politik identitas sangat kuat dan dimainkan kader politik. Inilah yang menjadi potensi perpecahan. Kita ingin serukan untuk berhenti gunakan politik identitas. Perppu ini harus ada karena sudah terjadi polarisasi dan untuk meredam persoalan," timpal Dewi Astuti.

Pernyataan KA KBUI sejalan dengan penelitian Setara Institute. Pasal penodaan agama dinilai sudah seharusnya dihapus karena telah melanggar hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Dari 1965-2017, telah terjadi 97 kasus. Sebanyak 62 di antaranya diproses akibat tekanan massa. Peneliti Setara Institute Halili mengungkapkan mayoritas proses hukum dengan menggunakan pasal itu didasari atas tekanan massa (trial by mob). Hanya 35 kasus yang tanpa tekanan massa.

Berdasarkan riset kualitatif yang dilakukan Setara Institute selama enam tahun terakhir, pasal penodaan agama memberangus demokrasi dan digunakan untuk menundukkan lawan politik.(P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya