Reformasi Dinilai Berjalan ke Arah yang Tepat

Astri Novaria
17/5/2017 19:38
Reformasi Dinilai Berjalan ke Arah yang Tepat
(MI/m IRFAN)

PROSES reformasi yang sudah berjalan selama 19 tahun sudah berjalan ke arah yang tepat. Penilaian tersebut dikemukakan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto di Jakarta, Rabu (17/5).

"Andai tidak ada Reformasi '98, maka tidak ada freedom of pers, freedom of expression dan tidak mungkin juga proses kontestasi elektoral menghadirkan tokoh-tokoh baru. Menurut saya semua itu terfasilitasi karena demokrasi kita yang semakin terbuka," ujar Gun Gun di peluncuran buku "Jokowi Melawan Debt Collector" karya Prof. Dr. Salim Haji Said di Wisma Elang Laut, Jakarta.

Meskipun demikian, sambung Gun Gun, demokrasi juga menimbulkan sejumlah tantangan, termasuk munculnya peristiwa politik yang kemudian membuat masyarakat berfikir apakah beragam peristiwa itu justru akan melemahkan demokrasi tersebut. Menurut dia setidaknya ada dua masalah demokrasi yang saat ini tengah dihadapi.

Pertama, agenda kontestasi elektoral yang berhimpitan. Gun Gun mengatakan agenda politik yang berhimpitan ini kerap melahirkan persoalan bawaan yakni polarisasi di tengah masyarakat akibat perbedaan pilihan.

Dia menyontohkan seperti Pilkada DKI Jakarta 2017 yang menyita begitu banyak energi bangsa, tidak hanya yang tinggal di Jakarta melainkan juga di daerah-daerah lain.

Setelah ini, pada 2018 ada 171 daerah yang melangsungkan pilkada serentak. Pilkada akan terus dihelat di tahun 2020, 2022, dan 2023 hingga Pilkada Serentak pada 2027. Sementara, Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden akan diselenggaraka dalam waktu bersamaan di 2019. "Saya menduga efek domino ini akan berlangsung hingga Pemilu 2019," imbuhnya.

Kedua, ia juga menyoroti soal problem kapasitas kelembagaan. Gun Gun mengatakan setelah reformasi banyak lembaga yang terbentuk. Sementara, soal kapasitas kelembagaan sering kali terabaikan.

"Seperti DPD, sejauh mana efektifnya? Dan juga lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap DPR. Ini penting, jadi bukan sekadar mendirikan lembaga tetapi juga memperkuat kapasitas kelembagaan sehingga demokrasi kita lebih konsolidatif," tandasnya.

Pihaknya merekam banyak sekali kekecewaan publik lewat riset yang telah dilakukannya terhadap institusi yang muncul pasca reformasi. Ia menyebutkan institusi penegakan hukum menjadi salah satu yang paling disoroti terkait kepercayaan publik yang rendah. Sementara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata dia, mendapat kepercayaan publik paling tinggi.

"Soal penegakan hukum, ini menjadi catatan dari pegiat di kekuasaan civil society bahwa penegakan hukum itu baru mengena kepada orang per orang atau kelompok yang tidak punya back up kekuasaan," terangnya.

Bicara mengenai buku yang ditulis oleh Prof Salim yang berjudul "Jokowi Melawan Debt Collector", menurut Gun Gun menjadi realitas yang tidak dapat dihindari di tengah suatu paradoks kekuasaan. Tak hanya dialami oleh Presiden RI ke-7, Joko Widodo, Gun Gun menambahkan hal serupa juga dialami oleh Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono.

"Seperti Pak Jokowi ini kan beliau Presiden tetapi itu dari penggelembungan parpol dan juga mitra-mitra koalisi namun tidak selalu meneguhkan apa yang menjadi perhatian Presiden. Itu problem yang menurut saya hampir semua rezim pasca reformasi alami. Pak SBY di periode kedua, dukungan di DPR sempat mengalami hambatan ketika proses komunikasi politiknya asimetris itu yang sering kali menjadi problem siapapun yang ingin mewujudkan presidensial yang efektif," paparnya.

Lebih lanjut kata Gun-Gun, peran tokoh masyarakat, media massa, para aktivis termasuk di organisasi dunia nyata maupun maya menjadi penting untuk bergerak bersama dalam konsolidasi demokrasi. Menurut Dosen Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, dalam situasi seperti sekarang, partisipasi politik masyarakat harus terus diupayakan bangkit dan menjadi kekuatan pengontrol terutama dalam bergeraknya penyelenggaraan pemerintahan.

"Setiap rezim berkuasa termasuk rezim Jokowi punya potensi "dibajak" oleh sekelompok elite politisi yang berkolaborasi dengan para penguasa dalam menikmati kekuasaan. Media massa dan media sosial harus bisa dioptimalkan sebagai katalisator partisipasi publik yang memainkan peran pengontrol sebagai ruang ekspresi yang bebas dari dominasi pasar dan intervensi negara," pungkasnya.(OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya