Wujudkan Rekonsiliasi

Richaldo Y Hariandja
15/5/2017 09:48
Wujudkan Rekonsiliasi
(Warga membubuhkan tanda tangan pada spanduk yang dibentangkan Gerakan Cinta Bangsa dan Pancasila di kawasan Bundaran HI, Jakarta---MI/Rommy Pujianto)

AKSI penghadangan dan penolakan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah oleh sekelompok orang di Bandar Udara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, pada Sabtu (13/5) diharapkan menjadi yang terakhir. Karena itu, seluruh elemen bangsa diminta menahan diri dan tidak menjerumuskan bangsa ke jurang perpecahan.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, dan rohaniwan Franz Magnis Suseno menyerukan hal itu ketika dihubungi di tempat berbeda, kemarin (Minggu, 14/5).

Mereka juga menegaskan pentingnya rekonsiliasi untuk menyatukan perbedaan dengan semangat saling menghargai. Rekonsiliasi itu penting karena kejadian serupa bukan yang pertama kali. Gubernur Kalimantan Barat Cornelis juga ditolak kehadirannya saat mengikuti acara Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan Ke-15 di Aceh, Sabtu (6/5). Aksi itu terjadi sehari setelah pemimpin FPI ditolak kehadirannya di Pontianak, Kalimantan Barat.

Azyumardi pun menyarankan pentingnya untuk menumbuhkan kembali sikap dasar bangsa yang mau saling mengalah. "Harus kembali ke sikap dasar kita yang tepo seliro dan mau mengalah untuk kepentingan bangsa yang jauh lebih besar," ujarnya.

Nasaruddin juga meminta masyarakat untuk pandai meredam emosi dan tidak terlalu sering melemparkan unek-unek di depan umum. Pasalnya, kedewasaan seorang intelek dilihat dari seberapa pintarnya mereka dalam mengendalikan diri.

Menurutnya, selama ini yang kurang dimiliki publik cerdas ialah kemampuan untuk mengerem setiap perkataan yang tidak diperlukan. "Terkadang diam adalah sebuah respons juga," imbuh dia.

Sementara itu, Franz Magnis meminta masyarakat untuk kembali ke konsensus identitas Pancasila. Menurutnya, setiap orang harus mampu menerima setiap perbedaan yang ada. "Menyuarakan terhadap hal yang meresahkan itu boleh, tapi kalau menolak orang lain karena perbedaan, itu tidak diperbolehkan," terang dia.

Menurut Romo Magnis, pemerintah dalam hal ini harus memastikan agar pertimbangan primordial tidak masuk ke negara. Ia mengatakan harus ada keadilan berdasarkan hukum yang berlaku di negara ini.

Mengelola kemajemukan
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito berharap ketegangan yang berkaitan dengan agama dan etnisitas harus segera diakhiri. Elite politik, imbuhnya, pun harus belajar sejarah keindonesiaan yang majemuk ini.

"Kita menjadi negara demokrasi besar karena kemampuan mengelola kemajemukan. Jangan sampai kita mundur hanya karena gagal mengelola kemajemukan ini," ujar Arie saat dihubungi, tadi malam.

Menurutnya, sebagian besar rakyat Indonesia sebenarnya mampu memegang kerukunan sosial. Oleh karena itu, pihaknya berharap rakyat tidak terprovokasi dalam benturan identitas. Ia juga berharap elite politik tidak memanfaatkan situasi ini untuk modal Pemilu 2019.

Arie mengimbau seluruh pihak harus menunjukkan kematangan diri dalam berdemokrasi. Oleh sebab itu, sambung dia, elite politik yang berintegritas harus mengajak semua komponen untuk memperkuat sikap-sikap demokratis dan menjaga integrasi sosial.(Nur/Nov/X-10)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya