Vonis Basuki Sangat Jauh dari Kelaziman

Golda Eksa
14/5/2017 06:29
Vonis Basuki Sangat Jauh dari Kelaziman
(Pengacara Terpidana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Wayan Sudirta, (dua kanan), Pengamat Hukum Kaspodin Noor (dua kiri), Institute For Criminal Justice Reform Anggara Suwahju (kiri) saat diskusi polemik di Jakarta, Sabtu (13/5). -- MI/Ramdani)

HUKUMAN 2 tahun penjara yang diputus majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap terdakwa kasus penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama, dinilai tidak lazim dalam sejarah peradilan Indonesia.

Hukuman itu jauh lebih berat ketimbang tuntutan 1 tahun penjara dan masa percobaan 2 tahun yang diajukan tim jaksa penuntut umum (JPU). Wayan Sudiarta selaku tim kuasa Basuki yang hadir sebagai pembicara diskusi Dramaturgi Ahok di Cikini, Jakarta Pusat, kemarin, mengaku kecewa dengan realitas itu.

“Makanya kami melawan. Saya terpaksa mengatakan putusannya sangat mengecewakan dan tidak terduga, tidak lazim,” ujarnya.

Ia menambahkan, pena­hanan terhadap Gubernur nonaktif DKI itu menyimpang dari ketentuan Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ada empat syarat harus dipenuhi sebelum seseorang yang tersandung perkara hukum ditahan.

Syarat itu antara lain terdakwa dianggap memiliki kecenderungan untuk menghilangkan barang bukti, mengulangi perbuatannya, dikhawatirkan bakal melarikan diri, serta dapat diterapkan pada pasal dengan hukuman lima tahun penjara.

“Nah, perkara penahanan ini tidak ditunjang sejumlah alasan yang memenuhi syarat tadi. Ini putusan kontroversi dan tak lazim karena dipenuhi tekanan dan bernuansa politis,” lanjut Wayan.

Menurut dia, tidak ada dasar hukum untuk menahan Basuki karena sejak awal pihak kepolisian dan kejaksaan juga tidak melakukan penahanan. Artinya, pengadilan pun harus melakukan hal serupa.

Kejanggalan lain yang masih mengundang pertanyaan ialah surat penetapan penahanan dari Pengadilan Tinggi DKI yang terbit pada Selasa (9/5) pukul 20.00 WIB atau setelah Basuki menyatakan banding di sidang vonis. Padahal, pada saat itu salinan putusan belum dikeluarkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

“Memang kalau menyatakan banding kewenangan berada di bawah Pengadilan Tinggi DKI. Namun, pasal berapa yang dipakai pengadilan dan apalagi berkas maupun majelisnya belum ada? Lalu kenapa malah bisa dilakukan penahanan,” ujarnya.

Mesti diperbaiki
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju berharap praktik penahanan yang tidak berdasarkan hukum sebaiknya diperbaiki. “Kalau tidak perlu ditahan, ya tidak perlu. Peng­adilan bisa memilih,” kata Anggara.

Khusus untuk kasus Basuki, tambah dia, Pengadilan Tinggi DKI yang memberikan mandat penahanan sejauh ini belum memberikan alasan secara detail tentang keadaan yang mengharuskan Basuki mendekam di balik jeruji besi.

“Sesuai dengan Pasal 21 KUHAP, diketahui tidak ada sesuatu keadaan yang membuat Basuki harus ditahan. Kenapa? Sepanjang persidangan dia selalu datang tepat waktu, tidak ada pula indikasi akan melarikan diri ke luar negeri, seperti membuat visa,” terang Anggara.

Peneliti politik dan sosial dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menambahkan, kasus penodaan agama itu telah menimbulkan efek sosial yang cukup menyita waktu dan memunculkan isu intoleran maupun radikal.

“Isu itu merupakan produk yang dikhawatirkan berasal dari kalangan elite. Karena itu, di sini peran elite politik paling penting untuk menyelesaikan persoalan, sedangkan publik juga diharapkan tetap rasional dalam merespons persoalan tersebut. Publik jangan emosi saat melihat peradilan,” pungkas dia. (P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya