Akhiri Ketegangan Sosial

Indriyani Astuti
14/5/2017 05:57
Akhiri Ketegangan Sosial
(ejumlah pengunjuk rasa melakukan sweeping di Bandara Internasional Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (13/5). Massa dari sejumlah ormas tersebut menolak kunjungan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di Manado. -- ANTARA FOTO/Kalino)

SEJAK pagi, Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, dipadati ratusan massa berpakaian serbahitam. Kehadiran warga yang mengaku dari berbagai Ormas Minahasa itu bertujuan menolak kunjungan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di Kota Manado, kemarin.

Begitu pesawat Garuda yang ditumpangi Fahri mendarat, massa tampak beringas ingin menembus barikade petugas kepolisian yang siaga ketat.

Setelah melihat situasi yang tidak kondusif, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey berorasi dengan maksud menenangkan massa. Namun, massa tampak tidak menghiraukan ajakan Gubernur, malah berkukuh tak mengizinkan kehadir­an Fahri Hamzah sembari mengacung-acungkan senjata tajam.

“Sulawesi Utara sangat menjunjung tinggi toleransi antarumat beragama. Jangan sampai kedatangan Fahri Hamzah mengganggu ketenteraman warga Sulut yang hidup dalam bingkai Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Olden Kansil, salah satu tokoh pengunjuk rasa, berapi-api dalam orasinya di bandara.

Namun, pemerintah setempat dan aparat keamanan berhasil mengeluarkan Fahri dari kepungan massa di bandara. Akhirnya, Fahri dievakuasi ke Kantor Gubernur Sulut.

Sedianya Fahri akan menjadi pembicara dalam diskusi yang bertema Kepemimpinan muda yang bersih dan antikorupsi di The Club dan Cafe Kawasan Megamas, Manado, tetapi batal.

Aksi massa diduga dipicu isu ber­edar di media sosial bahwa Fahri akan menghadiri pelantikan pengu­rus Front Pembela Islam cabang Kota Bitung, Sulawesi Utara.

Hal ini dikonfirmasi tokoh Nasrani setempat ke Fahri dalam dialog singkat di Kantor Gubernur. Politikus yang dipecat partainya, PKS, ini membantah akan menghadiri acara tersebut. Ia hanya akan mengikuti diskusi.

Politik identitas
Dalam menanggapi aksi penolak­an terhadap Fahri, Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan Universitas Padja­djaran Bandung Muradi mencermati bahwa terjadi ketegangan sosial di masyarakat sebagai dampak dari menguatnya politik identitas (SARA) pascapilkada DKI.

Penggunaan politik identitas oleh elite berdampak pada masyarakat sehingga mulai melakukan politik balas dendam berbasis politik dan sentimen identitas.

“Kunci utama penyelesaiannya ialah pada kebesaran hati elite politik di Jakarta agar tidak lagi bermain dengan politik identitas. Jika tidak, selama itu pula negara akan terancam oleh disintegrasi,” katanya, kemarin.

Sosiolog UI, Thamrin Amal Tomagola, mengamini terjadinya ketegangan sosial itu. Dia menawarkan perlunya rekonsiliasi. “Kita kan lihat rekonsiliasi para tokoh bertemu. Rekonsiliasi yang tumbuh secara alamiah dari pergaulan masyarakat. Itu bisa dibantu dengan kebijakan dari pemerintah yang tidak memihak serta didorong dengan pendekatan sosial untuk memperkecil perbedaan,” jelasnya.

Thamrin melihat penolakan Fahri yang dikaitkan dengan FPI bisa dipahami. “Penolakan-penolakan yang terjadi dilatarbelakangi sejarah. Misalnya penolakan FPI oleh suku Dayak dan di Minahasa karena rekam jejak kelompok itu (FPI) yang sering menghadirkan kekerasan di ruang publik,” kata dia.

Di sisi lain, sosiolog dari Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya, mengatakan masyarakat harus belajar dewasa berdemokrasi.

“Kita sudah membuat kesalahan. Ideologi politik harus disusun dan ditempatkan di bawah konstitusi. Parpol yang selama ini berafiliasi pada agama atau ideologi tertentu jangan sampai mengoyak dimensi fundamental, yakni Pancasila,” katanya. (VL/X-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya