Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
PEMERINTAH tidak setuju bila kata makar hanya dimaknai secara sederhana sebagai serangan. Pemaknaan secara sederhana justru akan menimbulkan potensi ancaman yang lebih besar terhadap negara. Demikian penjelasan Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Hubungan Antarlembaga, Agus Haryadi, yang mewakili pemerintah dalam memberikan keterangan terhadap uji materi UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, kemarin.
“Jika makar hanya diartikan sebagai serangan, risiko yang ditimbulkan akan lebih besar,” katanya dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat itu.
Menurut Agus, pasal makar dalam KUHP merupakan pasal yang bertujuan melindungi kepentingan negara dari ancaman yang datang dari dalam dan dari luar. Perkara dengan nomor 7/PUU-XV/2017 itu diajukan Institute for Criminal Justice Reform (IJCR) terkait dengan Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b, dan Pasal 140 KUHP.
Pemohon menilai Pasal 87 tidak menjelaskan definisi sesungguhnya mengenai kata makar. Selain itu, penggunaan kata makar dalam Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140 telah mengaburkan pemaknaan mendasar dari aanslag yang bila dimaknai dalam bahasa Indonesia berarti serangan.
Menurut pemerintah, pemaknaan kata makar harus mengacu ke norma hukum, bukan secara sederhana seperti yang dimaksudkan pemohon. Jika dimaknai sebagai norma hukum, kata makar dapat dimaknai sebagai niat menyerang, percobaan menyerang, perencanaan menyerang, perbuatan menyerang, atau pelaksanaan penyerangan.
“Memaknakan kata makar secara norma hukum akan difungsikan sesuai dengan kebutuhan pembentuk peraturan,” papar Agus.
Tindak pidana makar, imbuhnya, mempunyai berbagai macam bentuk. Misalnya, tindak pidana makar bermaksud menghilangkan nyawa presiden atau wakil presiden, membawa seluruh atau sebagian wilayah negara di bawah kekuasaan asing atau memisahkan sebagian wilayah negara, serta tindakan untuk menggulingkan pemerintahan.
Keberagaman tindak pidana makar, sambungnya, memunculkan beberapa pengaturan tindak pidana makar dalam sejumlah pasal. Pasal-pasal tersebut ialah instrumen hukum untuk meminimalkan tindak pidana makar. “Pasal-pasal itu merupakan instrumen hukum negara untuk bertindak mulai pencegahan hingga penindakan,” terangnya.
Kedudukan hukum
Pemerintah juga berpendapat pemohon dalam perkara itu tidak mempunyai kedudukan hukum. Penyebabnya, pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 8/2011 tentang MK. Pemerintah menilai tidak ada hubungan sebab akibat antara pemohon dan berlakunya pasal makar.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono menilai pemerintah sedikit pun tidak menjelaskan substansi permohonan. Pemerintah hanya menegaskan pasal-pasal makar penting bagi pemerintah.
“Kalau soal pasal makar masih relevan, ICJR sepakat. Cuma pemerintah perlu menjelaskan dengan argumen penolakan yang lebih subtantif atas frasa makar.” Persidangan akan dilanjutkan, Selasa (23/5), dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan tiga ahli dari pemohon. (P-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved