Caleg Bertarung dengan Parpol

Nur Aivanni
08/5/2017 06:32
Caleg Bertarung dengan Parpol
(Grafis/Caksono)

DEWAN Perwakilan Rakyat dan pemerintah tengah membahas Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu atau yang lazim disebut RUU Pemilu. Terkait dengan sistem pemilu, pembahasan di pansus sudah mengerucut pada dua sistem, yakni sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional terbuka terbatas.

Sistem proporsional terbuka sudah tidak asing lagi bagi masyarakat karena telah digunakan dalam Pemilu 2009 dan 2014 lalu. Sistem tersebut digunakan dalam pemilu legislatif berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi No 22-24/PUU-VI/2008. Dalam sistem itu, caleg terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak.

Dalam sistem proporsional terbuka terbatas, caleg terpilih akan ditentukan dengan dua mekanisme. Pertama, bila raihan suara caleg lebih tinggi daripada raihan suara parpol, caleg bersangkutan akan menjadi caleg terpilih. Sebaliknya, bila raihan suara caleg lebih rendah daripada suara parpol, penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menilai sistem proporsional terbuka terbatas yang diwacanakan di pansus itu sangat membingungkan pemilih. Ada dua dampak yang bakal ditimbulkan apabila sistem tersebut diterapkan.

Pertama, biaya politik caleg akan lebih besar. Caleg akan bertarung untuk mendapatkan nomor urut muda (nomor jadi) dan hal tersebut membuka peluang terjadinya politik trasaksional seperti masa lalu.
Kedua, hal itu berpotensi melemahkan kelembagaan partai karena caleg diposisikan untuk berkompetisi dengan partainya sendiri. “Tujuan memperkuat kelembagaan partai tidak akan terwujud dengan sistem ini,” tegasnya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Sejauh ini, sistem tersebut mendapat dukungan dari Fraksi PDIP dan Golkar, sedangkan mayoritas fraksi (delapan fraksi) di DPR masih menginginkan sistem proporsional terbuka.

Anggota pansus dari F-PDIP Arif Wibowo, misalnya, menyatakan sistem proporsional terbuka terbatas merupakan jalan tengah ketika sistem proporsional tertutup kurang mendapat respons dari fraksi-fraksi DPR.

Sementara itu, Sekjen Partai NasDem Nining Idra Shaleh menilai sistem proporsional terbuka yang telah digunakan selama ini perlu dipertahankan karena sudah terbukti lebih demokratis dan efektif.

Menurut Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy, keputusan akhir mengenai materi yang belum disepakati, termasuk mengenai sistem pemilu, akan dilakukan pada 18 Mei mendatang.

Sama seperti Titi, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto menyebut ongkos politik untuk sistem proporsional terbuka terbatas akan jauh lebih besar. “Ongkos politik bisa jadi dobel. Di satu sisi, tiap caleg saling sikut kampanyenya. Di sisi lain parpol akan berkampanye agar pilih tanda gambar, sedangkan caleg yang tidak andalkan nomor urut akan kampanye minta pilih gambar/foto caleg,” ujar Sunanto.

Selain itu, sambungnya, kompetisi tidak sehat yang berujung konflik pun berpotensi terjadi antara parpol dan calegnya. Caleg yang lolos karena suara terbanyak bisa merasa dirinya terpilih karena andil suara masyarakat, bukan karena peran partai. Muaranya, kepatuhan caleg tersebut terhadap partainya akan melemah.

Jalan tengah
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebut sistem proporsional terbuka terbatas yang ditawarkan pemerintah dalam RUU Pemilu merupakan jalan tengah. Hal itu sesuai dengan aspirasi masyarakat dan parpol yang ingin menegakkan kedaulatan parpol dalam menentukan caleg dalam pemilu. “Karena kedaulatan menentukan caleg berada di tangan parpol dan masyarakat pun bisa memilih caleg dan bisa memilih parpol. Itu pertimbangannya,” jelasnya.

Tjahjo tidak sependapat dengan anggapan bahwa sistem tersebut berpotensi memicu politik transasksional dan membuat caleg berhadapan dengan parpolnya sendiri. (Nyu/P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya