Pasal Penodaan Sebaiknya Ditiadakan

Putri Anisa Yuliani
05/5/2017 08:41
Pasal Penodaan Sebaiknya Ditiadakan
(ANTARA/Fanny Octavianus)

PENELITI dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara merekomendasikan penghapusan pasal pidana penodaan agama dalam KUHP.

Pasal tersebut dinilai justru banyak mengekang masyarakat untuk menjalankan kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan. Tak hanya itu, dalam cakupan kehidupan sosial lainnya, pasal itu terbukti bisa mengekang kebebasan berekspresi. Pandangan orang yang mengekspresikan sesuatu dapat dianggap sebagai perbedaan bahkan dinilai menghina atau menyesatkan.

Anggara menyebut bukan kali ini saja Pasal 156 KUHP menjerat orang dengan dakwaan penodaan agama yang menjerat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

"Sudah ada beberapa contoh kasus seperti sastrawan Arswendo Atmowiloto," kata Anggara dalam diskusi bertajuk Setelah Pilkada Usai: Menimbang Kasus Ahok yang berlangsung di Kantor DPP Partai Solidaritas Indonesia, Jakarta, kemarin (Kamis, 4/5). Menurut Anggara, apalagi proses pengadilan tak memiliki dasar yang tetap dan independen. Dasar tuntutan dan vonis hanya menggunakan opini dari organisasi keagamaan arus utama.

Pengadilan pun dianggap gagal menetapkan batas kapan pernyataan dapat dikategorikan sebagai penodaan atau permusuhan terhadap agama tertentu. Sering kali pula jika dakwaan penodaan agama gagal diterapkan, dakwaan menggunakan pasal lain. Hal tersebut membuktikan pasal itu tak memiliki arah yang jelas.

Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Rumadi mengatakan pasal tentang penodaan agama pernah digugat uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Namun, gugatan ditolak. Hal yang lebih menyulitkan menurutnya bukan hanya gugatan ditolak, MK seolah menguatkan pasal tersebut dengan menambahkan tafsirnya ke perlindungan umat beragama.

Ia menambahkan riset Wahid Institute menunjukkan selalu ada keterlibatan massa dalam kasus-kasus penodaan agama. "Pasal-pasal itu bicara tentang perasaan, siapa memobilisasi akan menguasai ruang publik," paparnya. Selain Anggara dan Rumadi, diskusi dihadiri novelis perempuan Okky Madasari.

Pusaran politik
Sejauh ini segelintir orang tetap meyakini bahwa kasus dugaan penodaan agama yang menerpa Basuki hanya buah dari pusaran politik semata.

Mereka yang merupakan sejumlah alumnus Universitas Harvard pun mengajukan petisi untuk memvonis bebas Basuki dari seluruh dakwaan. Terlebih lagi dalam tuntutan, jaksa mengakui pasal 156 tidak bisa diterapkan sehingga Basuki tidak terbukti menodai agama.

Petisi itu pun dimuat dalam sistus www.ahoktidakmenistaagama.com. Menurut Okky, sebelum kasus Basuki, sudah ada preseden jauh sebelumnya. "Pada 1968 majalah sastra Horison didemo gara-gara cerpen. Lalu kasus Arswendo. Sebagai penulis fiksi saya bisa merasakan situasi yang sama," kata Okky.

Novel Okky pun pernah ditarik penerbit karena menyinggung ormas besar. Hal itu juga membuktikan kebebasan berekspresi tidak dilindungi jika menyangkut organisasi massa besar. Pemerintah pun disebutnya seolah tak berdaya. (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya