Politisasi Agama Menguat di Pilkada 2018

Nov/P-5
04/5/2017 08:14
Politisasi Agama Menguat di Pilkada 2018
((dari kiri) Peneliti LIPI Ridho Imawan Hanafi, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini dan Peniliti senior LIPI Syamsuddin Haris, berbicara dalam diskusi Pilkada di Kantor LIPI, Jakarta, Rabu (3/5). -- MI/Bary Fathahilah)

PENGAMAT politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengatakan, dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 terjadi penyalahgunaan isu primordial dan agama, yang selanjutnya menjadi sebuah politisasi agama.

“Menurut saya, ini sudah melampaui batas. Pilkada itu merupakan salah satu proses demokrasi. Basis demokrasi yang induknya liberalisme ialah rasionalitas. Jadi, kompetisi itu mestinya berbasis pada kapasitas dalam mewujudkan gagasan,” ujar Syamsuddin di Gedung LIPI, Jakarta, kemarin.

Lantaran adanya sentimen isu primordial tersebut, kualitas demokrasi di Pilkada DKI Jakarta 2017 mengalami penurunan. Alhasil, faktor kinerja menjadi tidak bernilai. Ia berharap hal ini tidak terjadi lagi di Pilkada 2018 dan pemilu serentak 2019 mendatang.

Pilkada 2018 mendatang akan diikuti oleh 171 daerah yang notabene lebih besar daripada Pilkada 2017. Syamsuddin memprediksi penggunaan politik identitas pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 bakal menguat ketimbang Pilkada DKI 2017.

Pasalnya, lebih mudah membakar emosi masyarakat untuk menggalang dukungan politik bila menggunakan politik identitas. “Itu begitu efektif digunakan di Jakarta. Mereka yang menggunakannya merasa efektif. Potensi penguatannya di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 juga cukup besar,” tandasnya.

Menguatnya politik identitas, kata Syamsuddin, terjadi karena tidak adanya keseriusan pemerintah dalam upaya membangun bangsa. Sejak pemerintahan Bung Karno sampai Joko Widodo, pemerintah hanya terfokus pada pembangunan negara lewat pembangunan ekonomi dan infrastruktur.

“Selalu diabaikan untuk soal pembangunan bangsa sampai sekarang. Kita hanya sepakat pada level keindonesiaan itu basisnya keberagaman dan Pancasila. Dampaknya, kebangsaan berhenti sebagai komunitas yang hanya dibayangkan saja,” paparnya.

Ia berharap penggunaan politik identitas dalam kampanye harus dihentikan dan dilawan. Syamsuddin menyatakan dibutuhkan kerja panjang untuk menjaga rasionalitas pemilih agar tidak terjebak dalam kampanye yang menggunakan politik identitas.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan kuncinya ada di partai politik. Mesin partai, kata dia, punya kendali besar untuk memastikan kontestasi pemilu berjalan dengan demokratis.

“Ketika politisasi SARA dibiarkan kemudian penegakan hukum tidak memberi kejelas­an yang punya ruang kendali ialah parpol. Kalau parpol membiarkan apa yang terjadi di lapangan, tidak akan berhenti,” ujarnya.

Ia juga menyoroti penegakan hukum yang lambat terkait isu mengenai politik identitas. “Bawaslu tidak menunjukkan pencegahan yang relevan,” tandas dia. (Nov/P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya