Kekerasan Terhadap Pers Masih Jadi Sorotan

Indriyani Astuti
02/5/2017 16:29
Kekerasan Terhadap Pers Masih Jadi Sorotan
(Sejumlah jurnalis menggelar aksi demo memprotes penganiayaan dan kekerasan terhadap wartawan . ANTARA FOTO/Siswowidodo)

TINDAK kekerasan ataupun intimidasi terhadap pers masih kerap terjadi di Indonesia. Dan sangat disesalkan, beberapa dari kasus kekerasan terhadap pers bahkan tidak tuntas hingga proses pengadilan.

Oleh karena itu, Unesco mendorong agar setiap kasus kekerasan terhadap wartawan harus diinvestigasi oleh pihak berwenang. Salah satu kasus yang menjadi sorotan oleh UNESCO adalah pembuhuhan wartawan Jaringan Radar Herliyanto di Purwokerto.

"Jurnalis adalah profesi yang dilindungi baik ketika mencari informasi ataupun hak untuk melindungi narasumber," ujar Asistant Director General Unesco Frank La Rue dalam konferensi pers World Press Freedom Day yang berlangsung pada 1 hingga 4 Mei di Jakarta Convention Center.

Oleh karenanya, menurut dia, setiap kasus kekerasan terhadap wartawan baik itu tindakan kriminalitas atau disebabkan karena kesalahan wartawan sendiri harus dilakukan investigasi untuk melihat sejauh mana kebenaran di balik kejadian tersebut. Di samping itu juga untuk menghindari impunitas pelaku. " Kita tidak tahu yang terjadi sebelum dilakukan investigasi," tegasnya.

Diakui oleh Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo banyak wartawan korban kekerasan memilih jalan damai, sehingga tidak sampai pada proses pengadilan.

" Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat kurang lebih 78 kasus kekerasan sepanjang 2016. Kalau kita lihat yang diadukan ke Dewan Pers hanya tiga atau empat. Yang jadi pertanyaan kenapa sedikit, apakah diselesaikan di bawah tangan?," ujar pria yang kerap disapa Stanley itu.

Dia menegaskan, apabila ada wartawan yang mengalami kekerasan, maka sebaiknya melaporkan ke polisi serta Dewan Pers sehingga proses hukumnya dapat dikawal.

Berdasarkan data AJI kasus kekerasan meningkat dari tahun ke tahun, tercatat ada 23 kasus kekerasan terhadap wartawan yang dilaporkan hingga Mei 2017. Sedangkan 2016 sebanyak 80 laporan, 2015 ada 42 laporan dan 2014 tercatat ada 40 laporan.

Untuk mencegah adanya kekerasan terhadap wartawan, Dewan Pers, ujar Stanley, telah menandatangani nota kesepahaman dengan TNI dan Polri. Selain itu, Momerandum of Understanding (MoU) itu juga bertujuan untuk mendorong kasus-kasus kekerasan yang dialami wartawan dapat diproses hukum.

"Tindak lanjut dari itu adalah sudah dipentuk satu task force ada dari pokja hukum dewan pers, divisi hukum, humas dan bareskrim polri. Kami duduk bersama membahas kasus-kasus yang belum tuntas," katanya.

Di samping itu, Stanley juga mengingatkan kekerasan kerap kali terjadi dipicu oleh tindakan tidak profesional yang dilakukan wartawan itu sendiri. "Ketika nara sumber mengatakan terganggu tapi tetap memaksa sehingga terjadi kekerasan," tutur dia.

Karena itulah, ujar Stanley, Dewan Pers menekankan pentingnya kompetensi wartawan. Bukan hanya kompetensi dalam menulis berita, melakukan reportase dan wawancara, tetapi juga standar perilaku profesi wartawan.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara mengatakan kendati di Indonesia kebebasan pers cukup baik, namun harus dijaga dalam kordidor NKRI.

" Jangan memecah belah bangsa ini. Kritik adalah hal biasa. Tapi kalau di luar itu apalagi menghasut itu tidak bisa ditawar lagi," katanya.

Karena itu pers harus bertanggung jawab menjalankan fungsinya dengan berpatokan pada kode etik. Di sisi lain, menurutnya pemerintah saat ini pemerintah juga sudah sangat terbuka dalam hal informasi bagi masyarakat.(OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya