Butuh Ketegasan Lawan Hoax

Christian Dior Simbolon
02/5/2017 06:44
Butuh Ketegasan Lawan Hoax
(Diskusi memerangi hoax. -- MI/Panca Syurkani)

DI era digital, penyebaran berita bohong atau hoax menjadi sesuatu yang lazim. Namun, hal itu tidak bisa diabaikan. Selain karena mengagitasi publik, replikasi hoax juga berpotensi mendelegitimasi pemerintah.

Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Wina Armadi Sukardi menyatakan hoax harus diberantas. Penyebarnya pun harus dijatuhi sanksi. Hal itu ditegaskan Wina dalam diskusi Memerangi Hoax, Memperkuat Media Siber Nasional di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, kemarin.

“Opini itu bebas, tapi fakta itu suci. Yang tidak boleh itu menyebarkan kebohongan. Tidak boleh diubah fakta itu. Tapi (penindakannya) harus dibedakan antara yang se-ngaja atau tidak sengaja,” ujar Wina.

Dari hasil riset yang ia lakukan pada periode Februari 2016-Februari 2017, hoax yang paling banyak beredar di media massa dan media sosial terkait dengan bidang kesehatan (27%), politik (22%), dan bidang hiburan (15%). Sisanya tersebar di berbagai bidang.

Ia menambahkan, masih ada media yang menyebarluaskan hoax secara sengaja demi kepentingan tertentu. “Sekarang ini misalnya, yang mana pers mana bukan, enggak jelas. Karena itu, ketaatan terhadap kode etik jurnalistik perlu di-tingkatkan,” cetusnya.

Ketua Pusat Studi Kelirumologi Jaya Suprana menyebut hoax sebagai anak haram demokrasi. Hoax marak karena ide kebebasan berekspresi dan mengungkap pendapat dalam sistem demokrasi diterjemahkan secara keliru sebagai kebebasan menghina, berdusta, dan memfitnah.

“Makanya hoax merajalela. Sebenarnya enggak masalah kalau masyarakat kita sudah bisa memilah. Tapi masyarakat sekarang ini belum semaju di Jerman atau negara lainnya. Jadi mau enggak mau harus diatur dengan tegas,” ujarnya.

Khusus untuk pers, ia mengatakan jurnalisme tabayun (verifikasi) bisa menjadi solusi dalam memerangi hoax. Seorang jurnalis harus getol memverifikasi pernyataan atau isu yang beredar di publik sebelum memberitakannya.

“Media harus bijaksana. Tidak semua yang benar itu harus diberitakan. Kalau diberitakan, harus secara benar,” imbuhnya.

Ketua Harian Jaringan Wartawan Anti-hoax (Jawarah) Agus Sudibyo berharap masyarakat menyadari bahwa media sosial merupakan ruang privat di ranah publik.

Perhatian serius
Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP) Eko Sulistyo mengatakan peredaran dan penyebarluasan hoax diperhatikan secara serius oleh pemerintah. Pasalnya, hoax yang beredar saat ini potensial memecah belah bangsa dan bahkan mendelegitimasi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Beberapa di antaranya hoax mengenai maraknya tenaga kerja asing asal Tiongkok, ketidakberpihakan Jokowi terhadap ulama, hingga anggapan Presiden Jokowi melindungi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam kasus dugaan penodaan agama.

“Ini upaya prakondisi. Ada kepentingan politik di sini yang ingin mendelegitimasi pemerintah,” ujarnya.
Diungkapkan Eko, dalam menindak penyebar hoax, pemerintah akan berpegang pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, UU Pers, dan aturan perundangan terkait lainnya.

Pemerintah juga aktif meminta data terkait dengan beragam isu ke kementerian dan lembaga untuk ‘membunuh’ hoax yang beredar. “Kami dorong kementerian dan lembaga supaya menyiapkan data killer fact sebagai penangkal,” tandasnya. (P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya