Awalnya Jatah Fee Proyek Bakamla Hingga 30%

Erandhi Hutomo Saputra
28/4/2017 19:25
Awalnya Jatah Fee Proyek Bakamla Hingga 30%
(SIDANG KASUS BAKAMLA: Terdakwa M Adami Okta (kiri) dan Hardi Stefanus (tengah) menjalani sidang kasus dugaan suap proyek pengadaan alat monitoring satelit Badan Keamanan Laut (Bakamla) di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (28/4). ANTARA/Sigid Kurni)

JATAH fee yang dipatok di awal pembicaraan proyek satelit pemantau di Bakamla rupanya lebih tinggi dari yang akhirnya disepakati 15%. Hal itu diungkapkan Adami Okta, anak buah pemilik PT Melati Technofo Indonesia (PT MTI) Fahmi Darmawansyah, saat diperiksa sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (28/4).

Adami mengungkapkan jatah fee yang dipatok dalam proyek satelit pemantau di Bakamla awalnya sebesar 30% dari total nilai proyek. Pihak yang mematok fee itu ialah staf khusus Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Arie Soedewo, Ali Fahmi alias Fahmi Habsy.

Namun, kata dia, akhirnya fee yang ditentukan turun menjadi 15% setelah Ali Fahmi berdiskusi dengan Fahmi Darmawansyah dengan rencana nilai proyek Rp400 miliar. "Saya tahu dari Pak Fahmi Darmawansyah (kalau) Pak Ali Fahmi minta fee 15% tapi berubah-rubah, sempat (diawal minta) 30%," ujar Adami.

Dari fee sebesar 15% tersebut, Ali Fahmi yang merupakan politikus PDIP itu meminta agar Fahmi Darmansyah menyediakan 6% lebih dulu di awal atau Rp24 miliar. Ali minta uang itu diberikan dalam bentuk valas.

"Kita (Adami dan Hardy) serahkan di Hotel Ritz Carlton 1 Juli 2016," ucap Adami yang diamini anak buah Fahmi lainnya, Hardy Stefanus yang juga diperiksa sebagai terdakwa.

Uang itu disebut Ali Fahmi akan digunakan untuk mengurus anggaran satelit pemantau dan drone. Dua proyek tersebut sudah dijanjikan olehnya akan dimenangkan dua perusahaan milik Fahmi Darmawansyah yakni PT MTI dan PT Merial Esa.

Adami menyebut peran Ali Fahmi sangat sentral di Bakamla dalam proyek pengadaan. "Kita hanya megang Pak Fahmi Habsy semua beres, ia kayaknya sudah pegang semuanya di Bakamla," tukasnya.

Dalam perjalanan, ternyata proyek yang disetujui hanya satelit pemantau dengan anggaran hanya Rp222 miliar, proyek drone tidak lolos. Adami menyebut setelah penandatanganan kontrak satelit pemantau, Ali Fahmi menemuinya dan meminta disiapkan 2% dari nilai proyek. Namun saat itu ia tidak menanggapi karena anggaran dari Bakamla belum turun.

Akhirnya jatah 2% itu tidak ia berikan kepada Ali Fahmi melainkan kepada PLT Sekretaris Utama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi sesuai instruksi Arie Soedewo.

Untuk Eko sebesar Rp2 miliar dan US$10.000, untuk Direktur Data dan Informasi Bakamla Laksamana Pertama TNI Bambang Udoyo dan Kabiro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan masing-masing Rp1 miliar. Anak buah Eko bernama Tri Nanda selaku Kasubag TU Sestama Bakamla juga ia berikan Rp120 juta.

Baik Adami dan Hardy beralasan hanya menjalankan perintah dari Fahmi Darmawansyah. Khusus Hardy, dengan kasus ini ia merasa cap koruptor dari orang terdekatnya sudah melekat kepadanya. Ia berencana setelah menjalani masa pidana tidak akan kembali bekerja di proyek.

"Saya tidak mau main proyek lagi, mau jualan makanan saja," kata Hardy memelas.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ahmad Punto
Berita Lainnya