Pemerintah Cegah Politik Identitas

Nur Aivanni
28/4/2017 06:41
Pemerintah Cegah Politik Identitas
(Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Nege­ri, Soedarmo -- MI/Ferdian Ananda Majni)

DIREKTUR Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Nege­ri Soedarmo mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Komunitas Intelijen Daerah (Ko­minda) untuk mengantisipasi merebaknya penggunaan politik identitas di pilkada 2018.

“Nanti kita teruskan ke daerah terutama melalui Kominda untuk melakukan pendeteksian terhadap kegiatan-kegiatan (politik identitas) itu,” kata Soedarmo seusai acara Pem­bekalan Kepemimpinan Pemerintahan Dalam Negeri bagi Kepala Daerah di Kemendagri, kemarin.

Setelah diandalkan kelompok tertentu untuk mengalahkan Ba­suki Tjahaja Purnama-Djarot Sai­ful Hidayat pada pilkada DKI, politik identitas diyakini akan kembali di­gunakan di pilkada tahun depan. Senjata yang mereduksi kualitas demokrasi tersebut bahkan sudah mulai diarahkan kepada Rid­­wan Kamil setelah Wali Kota Ban­dung itu resmi diusung Partai Nas­Dem sebagai calon Gubernur Ja­wa Barat.

Soedarmo menyebut Kemendagri sudah melakukan persiapan untuk mencegah penggunaan kembali po­litik identitas. “Perlu kita koordi­nasikan supaya kondisi yang ada di DKI tidak terjadi di daerah. Kita peringatkan daerah lain untuk tidak melakukan hal-hal seperti di DKI.”

Mantan komisioner Komisi Pemi­lihan Umum Hadar Nafis Gumay mengingatkan anggota KPU saat ini harus semakin mewaspadai ber­­edarnya politik identitas. KPU perlu menerapkan pendidikan politik yang maksimal untuk meredam virus politik identitas. Pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilu juga perlu ditingkatkan.

“Hukumannya harus ditegakkan betul, seperti penggunaan rumah iba­­dah untuk hal seperti itu harusnya kan tidak boleh,” tegas Hadar.

Edukasi politik
Koordinator Bantuan Hukum Ya­yasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Julius Ibrani me­nekankan dua hal agar politik identitas tak mewabah.

Pertama, meningkatkan edukasi politik kepada masyarakat karena saat ini pendidikan politik masyarakat masih sangat rendah.

“Penyelenggara (KPU) jangan cu­ma sosialisasi kapan nyoblos, apa syarat-syaratnya, tapi juga edu­kasi (masyarakat). Misalnya, sya­­rat memilih pemimpin itu apa sih,” tutur Julius.

Kedua, sambung dia, pemerintah harus memberikan kesempatan ba­gi calon untuk bisa mengkritisi kebijakan pemerintah. Pasalnya, pe­merintah pun memanfaatkan politik identitas agar kebijakan mereka tidak dikritisi.

Di sisi lain, peneliti LIPI Siti Zuhro menyatakan perlunya penciptaan prakondisi agar pilkada jauh lebih substantif dan berkualitas, yakni dengan membangun komitmen ber­sama oleh peserta pilkada dan partai politik. “Parpol juga harus bisa mengusung calon yang memiliki integritas dan tidak bermasalah secara etika dan hukum.”

Selain itu, pejabat dan semua pemangku kepentingan terkait serta masyarakat harus berpegang teguh pada empat konsensus dasar, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Keteladanan elite politik menjadi hal yang krusial pula. (Put/X-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya