Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
KASUS korupsi akan berefek negatif terhadap elektabilitas partai politik dalam pemilu. Hal itu diakui Ketua DPP Golkar Yorrys Raweyai.
Menurut dia, sejak kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-E) bergulir, elektabilitas Golkar cenderung menurun, padahal sebelumnya sempat naik pasca-Munas Luar Biasa (Munaslub) 2016 dan sikap Golkar mendukung Jokowi di Pilpres 2019.
“Pasca-Munaslub 2016 dan kita berikan dukungan kepada Jokowi di 2019, elektabilitas Golkar dari waktu ke waktu naik signifikan. Akan tetapi, dengan berbagai macam kejadian akhir-akhir ini, terutama kasus korupsi KTP-E, elektabilitas Golkar cenderung menurun,” ujar Yorrys dalam diskusi bertajuk Partai Politik dan Budaya Korupsi, di Jakarta, kemarin.
Pasca-Munaslub 2016, lanjut Yorrys, elektabilitas Golkar naik dari 9% menjadi 15%. Namun, saat ini justru menurun.
Kunjungan Ketua Umum Golkar Setya Novanto ke daerah-daerah pun, diakui Yorrys, tidak mampu meningkatkan elektabilitas Golkar. “Kita tidak mau menutup diri dengan cari alasan, tapi itu fakta yang harus dihadapi,” tukasnya.
Golkar, imbuhnya, tidak memungkiri perspektif masyarakat yang cenderung negatif. Apalagi, Golkar dianggap ingin melemahkan KPK melalui revisi UU KPK dan protes terhadap pencekalan Novanto oleh KPK. “Saya pikir saat ini sudah dalam tahapan partai ini harus diselamatkan,” ungkapnya.
Kekuatan uang
Di tempat sama, Ketua DPP PAN Viva Yoga Mauladi menyebut dalam sistem demokrasi yang semu saat ini, tujuan politik untuk meraih kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari kekuatan uang. Tuntutan untuk membiayai ongkos politik, termasuk ongkos partai yang tinggi, membuat banyak kader terjerat korupsi.
Untuk itu, ia mendukung wacana penaikan angka pembiayaan parpol oleh negara. Dengan dana Rp108 per suara sah yang diraih dalam pemilu legislatif belum cukup untuk membiayai parpol. PAN, misalnya, berdasarkan hasil Pemilu 2014 hanya mendapat Rp677 juta per tahun. Jumlah itu habis dalam sebulan.
Sebagai perbandingan, ia mencontohkan bantuan yang didapat parpol di Meksiko mencapai 30% dari total pengeluaran. “Kalau kemudian dibiayai negara, persentase sesuai dengan kemampuan negara akan jadikan parpol mandiri dan tidak tersandera oleh orang yang punya kekuatan kapital yang bisa membuat parpol melenceng dari ideologinya,” tukas Viva.
Pengamat hukum pidana PTIK Umar Husin menyatakan terdapat empat faktor untuk memberantas korupsi. Keempat faktor itu ialah aturan perundang-undangan, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana, serta kultur.
Dari keempat faktor itu, menurut dia, Indonesia masih bermasalah dengan faktor kultur. Budaya malu ketika terindikasi korupsi atau mundur dari jabatan publik seperti di Jepang masih belum tertanam dalam benak pejabat di Tanah Air. Terlebih, sistem tata negara kita masih memperbolehkan seorang mantan terpidana korupsi duduk kembali di jabatan publik.
“Kalau masyarakat sudah sadar dan malu, tiga faktor yang lain tidak penting lagi. Di Jepang, kesadaran kultur tinggi sekali, bahkan di sana tidak ada UU Antikorupsi tetapi tingkat korupsi minim. Kalau ketahuan pasti mundur atau bunuh diri,” ucapnya.
Pengamat politik Universitas Pertahanan Salim Said menilai selama aparatur negara tidak dibayar sesuai dengan standar yang pantas, persoalan korupsi akan terus terjadi di negeri ini. “Mau sejuta KPK yang kita bentuk, akan ada terus korupsi. Untuk itu, kita perlu mencari akar masalahnya.” (P-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved