Politik Identitas Pilkada DKI Menular

Erandhi Hutomo Saputra
25/4/2017 05:58
Politik Identitas Pilkada DKI Menular
(Ilustrasi)

PENGGUNAAN politik identitas yang terbukti ampuh menjungkalkan petahana dalam pilkada DKI diduga akan terjadi pada pilkada 2018 bahkan dalam pemilu serentak 2019.

Dalam pilkada DKI, penggunaan isu politik identitas makin kentara setelah Basuki Tjahaja Purnama diduga melakukan penistaan agama terkait dengan pernyataannya yang mengutip Surah Al-Maidah ayat 51. Kasus itu kemudian bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

“Enggak usah jauh-jauh, di Bandung saja sudah mulai ada gerakan untuk memosisikan partai-partai pendukung Ahok sebagai partai pendukung penista agama. Bahkan, ada gerakan-gerakan salat Subuh berjemaah yang ceramahnya itu politis dan bernuansa politik identitas,” ujar pengamat politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Muradi saat dihubung­i, tadi malam.

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil telah mendeklarasikan diri bakal maju menjadi calon Gubernur Jawa Barat. Saat ini, Kang Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, baru mendapat dukungan Partai NasDem yang memiliki lima kursi. Padahal, butuh 20 kursi untuk bisa maju lewat jalur partai politik.

“Kalau kita lihat gerakan-gerak­an ini kan jelas arahnya untuk menegasikan partai-partai pendukung Ahok dan mengarahkan agar parpol lain tidak mendukung calon yang didukung partai pendukung Ahok,” ujar dia.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan pilkada Jawa Barat dengan karakter yang lebih homogen juga berpotensi diwarnai politik identitas. “Isu-isu populis akan terus dimainkan untuk memikat masyarakat yang pada dasarnya juga sudah punya sentimen yang dimaksud,” ujar Titi saat dihubungi, Minggu (23/4).

Peran Bawaslu
Menurut Titi, Bawaslu sangat berperan untuk menghentikan penggunaan politik identitas sebab UU Pilkada telah mengatur larangan tersebut dengan ancaman pidana penjara selama 18 bulan.

“Selama ini Bawaslu dan jajaran serta pihak kepolisian cenderung permisif dengan alasan mengedepankan stabilitas. Karena tidak ada respons tegas, tak mengherankan bila isu ini terus digunakan sebagai amunisi kampanye.”

Dirjen Otonomi Daerah Sumarsono mengakui sejauh ini Bawaslu belum memaksimalkan kewenangan dalam menindak kampanye yang provokatif.

“Bawaslu harus sadar punya kewenangan lebih di UU Pilkada saat ini. Mereka punya power, tapi masih disimpan. Ke depan (Pilkada 2018) Bawaslu harus tegas mengawasi dan mengontrol penggunaan isu SARA, termasuk di alat pe­raga kampanye,” ujar Sumarsono saat dihubungi, Minggu (23/4).

Sejak awal masa pilkada, lanjut Sumarsono, Bawaslu harus mempunyai ketegasan untuk menentukan kampanye yang diperbolehkan dan yang tidak. (Deo/Nov/Mal/X-10)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya