MK Episentrum Pembaruan Hukum

Fetry Wuryasti
11/4/2017 06:10
MK Episentrum Pembaruan Hukum
(Saldi Isra -- MI/Susanto)

HARI ini Presiden Joko Widodo melantik Saldi Isra sebagai hakim Mahkamah Konstitusi di Istana Negara, Jakarta.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas itu menggantikan Patrialis Akbar yang diberhentikan dengan tidak hormat karena terkena operasi tangkap tangan KPK dalam kasus dugaan suap.

Presiden Jokowi memilih Saldi setelah Panitia Seleksi Calon Hakim MK mengajukan dua nama lainnya, yakni dosen Universitas Nusa Cendana Bernard L Tanya dan mantan Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Wicipto Setiadi.

Untuk mendalami apa yang dilakukan ahli hukum tata negara kelahiran 28 Agustus 1968 itu guna memulihkan nama baik MK, wartawan Media Indonesia Fetry Wuryasti mewawancarainya di Jakarta menjelang ia berbuka puasa Senin, kemarin. Berikut petikannya.

Citra MK babak belur, setelah kasus Akil Mochtar, muncul kasus Patrialis Akbar. Bagaimana Anda bisa tertarik mendaftar sebagai calon hakim MK?
Sebetulnya kita punya pengalaman traumatis ketika Akil Mochtar pernah (kena) OTT juga dalam kasus pilkada. Saya sebagai orang yang mengikuti dan concern terhadap perkembangan MK, saya melihat reaksi kemarahan dan kecaman publik yang luar biasa ketika OTT Akil Mochtar.

Kasus seperti itu seharusnya menjadi pelajaran bagi institusi. Saya beranggapan itu akan menjadi yang pertama dan terakhir untuk menimpa hakim. Tetapi kejadian serupa terjadi pada Patrialis Akbar.

Jarak tiga tahun (kasus Akil ke Patrialis) bagi institusi sebesar Mahkamah Konstitusi menurut saya bukan waktu yang lama, melainkan berimpitan. Seharusnya hakim konstitusi mengambil pelajaran dari kasus Akil Mochtar, tetapi kemudian terjadi lagi pada Januari 2017 menimpa Patrialis. Reaksi publik malah biasa-biasa saja.

Ini sinyal yang harus diwaspadai Mahkamah Konstitusi. Jangan-jangan orang menganggap MK tidak usah diharapkan lagi. Kalau pendirian sudah sampai tahap itu, menjadi dua sampai tiga kali lebih besar upaya untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Di tengah suasana itu, mungkin karena dianggap sebagai orang yang fokusnya di MK, banyak pihak yang mendorong saya untuk mendaftar ke proses seleksi. Saya perlu waktu sekitar satu bulan sebelum akhirnya mendaftar.

Apa yang akan Anda lakukan di MK?
Pertama, tantangan untuk mengembalikan MK ke level kepercayaan publik pasti tidak sederhana. Kedua, saya orang mendalami hukum tata negara yang lahir dari 'jalanan'. Hampir semua momen ketatanegaraan setelah reformasi dan saya hadir di sana, baik menyaksikan sendiri maupun orang yang dimintai pendapat oleh banyak kalangan.

MK institusi yang lahir dari rahim reformasi. Selama ini, yang mempelajari hukum tata negara menganggap MK sebagai salah satu episentrum mempercepat pembaruan hukum.

Kalau hari ini sedang dirundung banyak masalah lalu tidak ada orang yang mau ikut ke dalam untuk berjuang mengembalikan ke posisi semula, berat bagi MK untuk bisa cepat keluar dari masalah.

Bagaimana agar kasus Patrialis tidak terulang?
(Untuk) perbaikan MK, banyak komponen yang harus diperhatikan. Satu, hakim ada sembilan orang. Kalau saya masuk, saya hanya satu dari sembilan hakim. Jangan pernah berpikir begitu Saldi masuk, perubahan akan cepat. Tidak. Saya masuk memberikan kontribusi sama dengan delapan hakim lain.

Menurut saya, mungkin saya bisa memberikan amunisi tambahan untuk mempercepat menuju ke level yang pernah diraih MK. Kedua, sekretariat jenderal. Ketiga, kepaniteraan. Orang yang bersentuhan langsung dengan hakim dalam perkara-perkara. Karena hakim mahkotanya adalah putusan, semua sumber daya yang ada di MK itu harus diarahkan kepada terciptanya putusan hakim yang berkualitas.

Caranya membuat putusan hakim berkualitas?
Saya berpikir harus dibangun seperti justice office. Setiap hakim memiliki justice yang diisi anak-anak muda yang cemerlang dan belum tercemari. Hakim perlu dibantu oleh anak-anak muda yang memiliki latar keilmuan beragam. Orang-orang yang siap mem-back up hakim.

Seberapa besar godaan jadi hakim MK?
Berkaca dari pengalaman Akil dan Patrialis, ya godaannya besar. Ini institusi yang memiliki kewenangan luar biasa. Orang mengatakan dengan kewenangan itu harus ada pengawasan. Tapi tidak cukup hanya pengawasan.

Yang tidak kalah penting komitmen orang-orang dalam terutama hakim, menjaga muruah Mahkamah Konstitusi. Hakim memutuskan dengan cara yang benar. Saat (hakim) memutuskan, argumentasi harus bisa dicerna oleh orang.

Solusi mengatasi tekanan dari kanan-kiri?
Hakim boleh berasal dari Mahkamah Agung, dari DPR, dan yang diajukan Presiden. Tetapi semua itu hanya pintu masuk. Begitu menjadi hakim, mereka harus lepaskan semua dari pintu mana mereka masuk dan memosisikan diri mereka sebagai hakim konstitusi.

Dari 200 juta lebih orang Indonesia, hakim MK hanya sembilan. Itu seharusnya posisi yang dipertahankan muruahnya agar kepercayaan publik bisa terpelihara di Mahkamah Konstitusi.

Menjadi hakim berat menurut saya. Apalagi kalau orang menganggap siapa wakil Tuhan di muka bumi, ya hakim.

Menurut saya, bukan pekerjaan sederhana menjadi hakim. Hakim konstitusi adalah satu-satunya posisi publik di Republik ini yang diberi status ada syarat negarawan. (X-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya