Standardisasi Pembuatan Peraturan Daerah

Furqon Ulya Himawan
10/4/2017 06:52
Standardisasi Pembuatan Peraturan Daerah
(Ilustrasi/Micom - FOTO ANTARA/Hafidz Mubarak A.)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam membatalkan peraturan daerah (perda) bukan berarti Mendagri tidak punya kewenangan dalam mengontrol perda. Mendagri masih punya kewenangan preventif dan pengawasan atau executive review dalam proses perancangan perda kabupaten atau kota.

Hal itu dikatakan Eny Urbaningsih, ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), saat dihubungi, kemarin. “Bukan berarti Mendagri sudah tidak punya kewenangan. Mendagri masih punya kewenangan executive review,” kata Eny.

Ke depan, Eny berharap pemerintah membuat panduan bagi daerah dalam membuat perda karena faktanya selama ini pemerintah pusat tidak pernah memberikan standardisasi perda seperti apa yang harus dibuat di daerah.

Menurutnya, perlu aturan yang jelas tentang standardisasi perda, termasuk juga standardisasi proses asistensi pemerintah pusat terhadap pemda.

“Kebanyakan perda hanya copy-paste dengan daerah lain. Pemerintah pusat tidak pernah menggunakan kewenangan dengan baik sehingga tidak sedikit muncul perda yang tidak tepat dengan kondisi ­daerahnya, bahkan bertentangan dengan perlindungan dan pemenuhan hak asasi atau tidak mengikuti prinsip hukum yang berlaku,” tegas mantan anggota pansel pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng. “Syarat perda tersebut keluarkan adanya nomor register yang diberikan Kemendagri setelah melalui tahap pengecekan dan evaluasi perda tersebut. Optimalkan kewenangan tersebut,” ujarnya.

Ia menjelaskan pencabutan wewenang Mendagri tersebut bisa mengembalikan Kemendagri pada funsi tradisional mereka, yakni sinkronisasi kementerian sektoral dan daerah yang bisa semakin diperkuat,
“Kapasitas legislasi Kemendagri bisa dimaksimalkan, serta instrumen pengawasan represif dan preventif juga harus dikuatkan di tahapan rancangan perda,” tegasnya.

MA terbatas
Endi menyampaikan, berdasarkan temuan KPPOD terdapat 540 lebih dari sekitar 1.082 perda yang dievaluasi. Kemendagri pada tahun ini menganggap ada 600 perda yang perlu dibatalkan terkait dengan ekonomi dan investasi. Adapun terkait dengan intoleransi daerah, diskriminasi, minuman beralkohol, dan masalah berat lain terdapat 500-600 perda yang bermasalah yang harus dikaji dan disampaikan ke masyarakat.

“Dengan dialihkannya wewenang ke MA maka kita menyerahkan laporan ini ke masyarakat biar mereka yang mengadukan ke MA. Jujur, yang tadinya kami memiliki timeline untuk menyelesaikan masalah perda ini sekarang jadi terhambat karena sudah berada di tangan MA,” pungkasnya.

Proses di MA, lanjut Endi, sangat terbatas dan dipastikan baru memproses perda apabila adanya aduan atau permohonan dari masyarakat ataupun pelaku usaha ke persidangan.

“Bisa saja pelaku usaha enggak berani karena tindakan mereka tersebut bisa mencederai hubungan dengan pemda, misalnya. Kalau begini, deregulasi program Presiden Joko Widodo untuk mengimplikasikan berbagai tindakan bisa terancam,” tandasnya. (Rul/Jay/P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya