Presiden Luruskan Polemik Agama

Nur Aivanni
09/4/2017 12:15
Presiden Luruskan Polemik Agama
(ANTARA/Mohammad Ayudha)

PRESIDEN Joko Widodo kembali menjelaskan pandangannya tentang hubungan agama dengan kehidupan bernegara yang sempat memicu polemik. Pernyataannya tentang jangan mencampuradukkan politik dan agama telah disalahartikan.

Sebelumnya Presiden sudah menyampaikan pandangannya di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, pada akhir Maret lalu. Kali ini Presiden menjelaskan permasalahan yang sama di Pondok Pesantren Kholifatulloh Singo Ludiro, Kecamatan Mojolasan, Kabupaten Sukoharjo, kemarin.

Presiden menegaskan tidak ingin memisahkan nilai-nilai agama dalam politik. Namun, pencampuradukkan agama dan politik seringkali terjerumus dalam konteks yang salah akibatnya agama dipolitisasi menjadi komoditas.

"Jangan dibelokkan. Masak politik tidak boleh dihubungkan dengan agama," ujar Presiden. Agama, menurut Presiden, merupakan faktor penting dalam politik karena setiap keputusan kebijakan harus dilandasi dengan nilai-nilai kejujuran, nilai-nilai moralitas yang ada dalam setiap agama.

"Itulah sambungnya politik dan agama," ucap Presiden.
Pada kesempatan terpisah, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan agama memang diciptakan untuk membuat dunia lebih konstruktif. Namun, agama juga punya daya hancur ketika digunakan dalam politik, termasuk membunuh yang lain atas nama Tuhan.

Kondisi itu memorakporan-dakan sejumlah negara Timur Tengah yang dipolitisasi pula oleh negara barat. "Sepanjang Barat gunakan untuk kepentingan politik, konflik akan menguat. Apa yang terjadi sekarang di Eropa, termasuk yang meledak di Prancis, dan lain-lain, karena problem di Timur Tengah," tutur Tito, dalam seminar dan lokakarya Indonesia di Persimpangan: Negara Pancasila vs Negara Agama, di Jakarta, kemarin.

Selagi konflik di Timur Tengah terus terjadi, doktrin radikal salafi jihadis yang memaksa menegakkan kilafah, tidak surut. Di Indonesia, doktrin itu masuk dengan meredupnya demokrasi Pancasila dan menguatnya demokrasi liberal.

Doktrin Pancasila

Demokrasi liberal memang memperkuat partisipasi masyarakat. Sayangnya, menurut Tito, demokrasi tersebut di negeri ini membentuk piramida dan yang terbanyak ialah kalangan ekonomi rendah.

"Low class akan menuntut banyak pada pemerintah. Ketika pemerintah tidak bisa, primordialitas menguat. Yang terjadi ialah identitas kekerasan menguat, manipulasi opini high-class pada low-class. Masyarakat kerap tidak mengerti situasi ini."
Untuk mengatasinya, kata Tito, perlu instrumen pencegahan konflik. Doktrin Pancasila harus didengungkan lagi dan diintensifkan. "Keberagaman harus dinafikan, dan kita jadi satu identitas Indonesia."

Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini menekankan ukhuwah atau persaudaraan anak bangsa sebaiknya tidak didasarkan pada agama, politik, suku, dan ras. "Jika ukhuwah disandarkan pada hal itu, tidak akan lahir ukhuwahnya. NU atau Muhammadiyah kalau melihat ada perbedaan pendapat (masyarakat), pasti ulama kami akan memberikan keteduhan selama 24 jam. Lebih ampuh ulama jika dibanding kapolres atau kapolsek," selorohnya.

Dalam hal hubungan agama dan politik, cendekiawan muda Muhammadiyah Ahmad Najib Burhani menyatakan pemisahan agama dan politik pernah menjadi satu barometer pemerintahan di beberapa negara. Namun, seiring waktu hal itu mulai terlihat menyatu kembali. Prinsipnya penyatuan agama dan politik tidak diharapkan oleh bangsa Indonesia yang plural. (Gol/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya