Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
MEMILIKI istri yang sadar terhadap pentingnya pendidikan anak ialah anugerah luar biasa yang tidak bisa dibandingkan dengan besarnya nilai harta. Qaimah Umar, perempuan yang saya nikahi kurang lebih 27 tahun lalu, ialah tipikal seorang ibu yang memiliki kecintaan yang besar terhadap dunia pendidikan.
Menjadi guru di sepanjang hayatnya ialah cita-citanya yang tidak akan mati oleh kedukaan mendalam kehidupan dunia. Menjadi guru honorer selama 18 tahun dijalaninya dengan tabah. Bahkan ketika pertama menjadi guru, setiap berangkat ke sekolah, dia selalu membawa anak kami yang baru dua orang waktu itu dengan mengikat badannya dengan kain, seraya memboncengi anak-anak dengan sepeda motor pergi ke sekolah.
Bukan hanya itu, keceriaan dan kebanggaan menjadi guru juga tak pernah surut ketika saya, suaminya, mengalami begitu banyak cobaan hidup. Dalam benaknya, keutuhan keluarga teramat besar untuk dihancurkan dan menyayangi anak-anak menapaki kehidupan lebih lanjut dan lebih baik ialah obsesinya yang tiada henti.
Di tengah-tengah tugasnya sebagai guru SD, istri saya juga aktif melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan gerakan menyantuni anak yatim melalui Majelis Taklim Al-Ikhlas yang dipimpinnya. Pendek kata, moral cinta Qaimah Umar tak akan pernah bisa saya membalasnya di kehidupan dunia ini. Saya hanya berharap Allah selalu memberinya keceriaan dalam mengajar dan memberi perhatian kepada anak-anak.
Melakukan hal kecil
‘Jangan mencari yang besar-besar, cukup mengerjakan yang kecil-kecil dengan cinta yang besar. Makin kecil yang kita hadapi harus makin besar cinta yang kita berikan’, demikian ditulis Mother Theresa, dalam Come Be My Light: The Private Writings of the Saint of Calcutta. Kutipan bijak dari Bunda Theresa ini sangat sesuai dengan kebutuhan pendidikan karakter bagi anak-anak Indonesia. Apalagi jika dilihat dari situasi kelam dunia pendidikan kita, keteladanan dan cinta sejati mulai senyap dan hilang.
Kita benar-benar membutuhkan inspirasi cerdas yang dapat membangunkan jiwa. Apa yang dikatakan Bunda Theresa tentang mengerjakan hal-hal kecil dengan cinta yang besar sangat identik dengan apa yang dilakukan istri saya, Qaimah Umar, dan juga hampir seluruh ibu yang sadar pentingnya pendidikan di muka bumi ini.
Seorang ibu hampir dapat dipastikan selalu mengerjakan hal-hal kecil, seperti memperhatikan anak-anak dan keluarga mereka, tetapi dengan cinta yang sangat besar. Cinta seorang ibu terhadap anaknya tak mungkin berakhir karena perhatian dan cinta mereka justru datang dari hal-hal kecil. Hal-hal kecil selalu bermuasal dari keseharian yang ada di sekitar kita. Karena itu, contoh kecil itu sangat baik dan memungkinkan untuk ditransformasi dalam praktik pengajaran di sekolah, yaitu memperhatikan para siswa dari hal-hal yang kecil kemudian mendiskusikan secara bersama masalah yang muncul.
Berkaca pada situasi saat ini dengan banyaknya persoalan yang mendera pendidikan kita, ada banyak alasan bagi kita untuk mempersoalkan bagaimana nasib pendidikan moral dan budi pekerti dikembangkan dan diajarkan kepada anak-anak kita di sekolah. Setiap bentuk anomali perilaku anak-anak di sekolah, baik dalam bentuk tawuran antarsiswa, penyalahgunaan obat terlarang, penyimpangan perilaku seksual, hingga penistaan peran guru melalui Facebook misalnya, selalu disikapi dengan pendekatan serbaformal. Termasuk di antaranya usul tentang perlunya membuat model kurikulum pengembangan pendidikan moral dan budi pekerti. Selain kurikulum, sepertinya tidak ada lagi cara lain untuk memperbaiki perilaku siswa menyimpang. Pertanyaannya ialah kurikulum yang bagaimana lagi ingin kita buat untuk pendidikan moral dan budi pekerti di sekolah?
Soal di sekolah lebih banyak menuntut siswa hanya menjawab benar dan salah. Tetapi lalai dalam melakukan autokritik terhadap pelembagaan ujian meskipun saat ini, katanya, pemerintah telah memberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang seharusnya memberi ruang yang lebih banyak bagi guru dan siswa untuk mendesain pola pembelajaran mereka. Kenyataannya? Kurikulum masih sentralistis, terlalu banyak mengatur ini boleh dan itu tidak boleh sehingga antara guru dan birokrasi pendidikan kita menjadi setali tiga uang; saling memengaruhi untuk menumbuhkan budaya kepatuhan tanpa inovasi yang berarti.
Jika saja persoalan moral dilandasi atas dasar pembelajaran kita dalam melihat cinta kasih seorang ibu terhadap anaknya, sebenarnya tak sulit mempraktikkannya dalam proses belajar-mengajar. Jika pendekatan seorang ibu lebih banyak menggunakan hati dan cinta, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika semua guru lebih memberikan cinta dan hati mereka daripada sekadar memenuhi kewajiban.
Saya tak memiliki kapasitas dan pretensi untuk menjawab model kurikulum pendidikan moral dan budi pekerti yang seharusnya. Namun, saya ingin mencoba merekonstruksi ulang pertanyaan itu dengan kalimat “Dari manakah kesadaran dan tanggung jawab para guru terhadap pendidikan moral dan budi pekerti harus dimulai?” Jawaban singkatnya, belajarlah dari cara ibu memberikan cinta dan kasih sayangnya kepada kita.
Sebuah survei yang dilakukan Phi Delta Kappa/Gallup Study 2004 menyebutkan 73% responden setuju tentang kelemahan mendasar pendidikan, yaitu bertumpu pada ketiadaan guru yang baik hati alias mengajar tidak dengan rasa cinta. Survei itu juga menunjukkan jika karena kondisi terpaksa/mendesak seseorang harus berhenti dari profesinya sebagai seorang guru, jawaban yang paling banyak dipilih ialah karena alasan rendahnya gaji dan fasilitas (67%), kekakuan birokrasi (21%), kesulitan dalam menghadapi orangtua siswa (8%), dan alasan kondisi siswa (4%). Artinya, hanya 4% sebenarnya guru yang selalu memiliki keterikatan secara emosional terhadap siswa mereka (Rosanne Liesveld and Jo Ann Miller: 2005).
Cerita dan fakta itu ingin menunjukkan keterikatan secara psikologis atau emosional sesungguhnya musuh guru itu sendiri. Dalam konteks pendidikan di SD, mari kita bertanya, lebih banyak mana para guru kita yang memberi PR dan yang memeluk dan mencium siswanya setiap hari di kelas. Atau guru-guru kita memang benar seperti dugaan Paulo Freire, menganggap siswa-siswi mereka sebagai tahanan atau pekerja yang harus selalu ditekan untuk belajar dan belajar, tetapi tidak mendidik.
Di sinilah sesungguhnya pembeda antara pengajar dan pendidik. Guru dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi biasanya memperlakukan siswa mereka sebagai teman, anak, atau bahkan relawan sehingga unsur tekanan dan pemaksaan tidak terjadi dalam proses belajar-mengajar karena ikatan emosional yang lebih akan menyebabkan hubungan guru-siswa menjadi lebih akrab, dinamis, dan mudah membuat mereka memahami sekaligus mematuhi aturan yang ada.
Istri saya ialah role model guru yang sekaligus seorang ibu yang selalu memikirkan rasa cinta dalam mengajar daripada mengumbar rasa benci dengan memberikan tekanan kepada anak secara emosional. Terima kasih, Qaimah Umar, semoga jejakmu sebagai guru yang asih akan selalu dikenang murid-murid dan tetap menjadi anutan anak-anak dalam melangkah ke depan. Selamat berjuang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved