Kasus Paedofilia dan Bonus Demografi

Pangki T Hidayat, Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education, Alumnus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
10/11/2015 00:00
Kasus Paedofilia dan Bonus Demografi
()
TIDAK bisa dimungkiri maraknya kasus kekerasan seksual anak yang terjadi di negara ini berpotensi menjadi ancaman serius bagi keberadaan bonus demografi (demografic deviden) yang puncaknya diperkirakan akan dipetik pada 2028 hingga 2031. Pasalnya, bonus demografi yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas negara di pelbagai sektor ekonomi menjadi sulit terealisasi imbas dari maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak tersebut. Mafhum disadari, anak-anak yang pernah menjadi korban kekerasan seksual mempunyai kecenderungan kuat untuk menjadi pelaku kekerasan seksual ketika telah dewasa. Alhasil, selain dapat menciptakan gejolak hukum, kasus kekerasan seksual anak mempunyai potensi dapat menciptakan 'lingkaran setan', dengan kasus kekerasan seksual anak akan berulang terus-menerus tanpa tiada pernah berakhir.

Alih-alih prevalensinya menurun, angka kasus kekerasan seksual anak justru cenderung terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa pada 2011 terjadi sekitar 328 kasus kekerasan seksual anak. Sementara itu, pada 2012 jumlah kasus kekerasan seksual anak meningkat menjadi 746 kasus. Jumlah kasus kekerasan seksual anak tersebut selanjutnya melonjak drastis pada 2014, yakni menjadi sekitar 1.380 kasus.

Nahasnya lagi, sebagian besar kasus kekerasan seksual anak yang terjadi tersebut ditengarai merupakan kasus paedofilia, yaitu merujuk pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder merupakan parafalia, yaitu seseorang memiliki hubungan yang kuat dan berulang terhadap dorongan seksual dan fantasi tentang anak-anak prapuber dan perasaan mereka memiliki salah satu peran atau yang menyebabkan penderitaan atau kesulitan interpersonal (Wikipedia).

Dalam bahasa sederhananya, paedofilia dapat dipahami sebagai tindak kekerasan seksual terhadap anak-anak yang dilakukan secara sengaja oleh orang-orang yang memang mempunyai kelainan orientasi seksual pada anak. Terkait dengan hal itu, pada 2014, agen penyelidikan Amerika Serikat, FBI (Federal Bureau of Investigation), pun sebenarnya pernah memberikan peringatan kepada Indonesia bahwa kasus paedofilia di negara ini merupakan yang tertinggi se-Asia.
Hanya saja, kala itu peringatan tersebut justru didebat oleh Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Suhardi Alius karena menurutnya kasus paedofilia tertinggi ialah di Thailand. Namun, terlepas dari itu semua, harus diakui bahwa negara ini memang tidak siap dalam mengantisipasi kasus yang sebelumnya diperkirakan sulit tumbuh dan berkembang di negara ini. Barangkali alasannya ialah karena prevalensi paedofil (pelaku paedofilia) di dunia sangat sedikit, yakni hanya sekitar 2%-8% dari seluruh jumlah populasi manusia. Di samping itu, mungkin karena manusia Indonesia dipercaya sebagai orang-orang yang taat terhadap agama sehingga tak mungkin melakukan tindakan yang menyalahi ketentuan agama, termasuk menjadi paedofil.

Jendela peluang
Bonus demografi secara sederhana dapat diartikan sebagai kondisi saat jumlah penduduk usia produktif jauh lebih banyak daripada jumlah penduduk usia tak produktif, sehingga beban tanggungan penduduk usia produktif (depency ratio) menjadi kecil. Pakar demografi Prof Sri Moertiningsih Adioetomo menyebut kondisi demikian merupakan jendela peluang (window of opportunity) bagi Indonesia untuk menjadi negara maju yang nantinya sulit terulang kembali di masa depan. Itulah sebabnya, terhadap anak-anak generasi penerus bangsa, negara semestinya hadir untuk memberikan perlindungan dari segala macam potensi ancaman, termasuk ancaman dari para paedofil. Maka, dalam konteks ini, penting dipahami bahwa apabila semakin hari semakin banyak anak yang menjadi korban kasus paedofilia, bukan tidak mungkin puncak bonus demografi yang diperkirakan akan dipetik pada 2028 hingga 2031 mendatang hanya akan dipenuhi oleh para paedofil.

Jamak disadari, anak-anak yang menjadi korban kasus paedofilia pada saat ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Richard Von Krafft-Ebing dalam bukunya berjudul Psychopathia Sexualis memiliki kecenderungan untuk menjadi paedofil pula ketika telah dewasa. Di sisi lain, para paedofil itu sendiri pun saat ini tetap dapat menularkan ‘virus’ paedofilia kepada anak-anak yang menjadi korbannya karena sanksi hukumnya tidak mampu menutup potensi para paedofil untuk tidak dapat kembali mengulang perbuatan mereka.

Mafhum diketahui, sanksi hukum bagi para paedofil sesuai UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak hanya berupa penjara dan denda tanpa pemberatan maupun tambahan hukuman apa pun. Akibatnya, ketika sanksi penjara maupun denda sudah terpenuhi, bukan tidak mungkin para paedofil tersebut akan kembali melakukan aksi serupa di kemudian hari.

Karenanya, untuk meminimalkan prevalensi kasus paedofilia dan sekaligus juga dalam rangka menyelamatkan (puncak) bonus demografi negara ini, mekanisme yang tepat untuk diimplementasikan saat ini ialah dengan memutus mata rantai paedofilia. Caranya tidak lain ialah dengan melegalkan pemberian sanksi pengebirian bagi para paedofil. Dengan adanya sanksi pengebirian itu, para paedofil tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk melakukan tindakan serupa di kemudian hari. Itu berarti potensi anak-anak untuk menjadi korban paedofil berikutnya sekaligus potensi anak-anak korban paedofil itu untuk menjadi paedofil ketika dewasa nanti juga akan ikut tertutup dengan sendirinya. Oleh sebab itu, wacana pemerintah untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pengebirian bagi para paedofil mutlak harus didukung agar dapat segera terealisasi. Dengan begitu, prevalensi kasus paedofilia dapat menurun dan bonus demografi pun dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju. Semoga.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya