Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
DEBAT pertama cagub/cawagub untuk pemilihan di DKI Jakarta telah dilakukan.
Pemilih di Jakarta dan juga penonton di seluruh Indonesia mendapatkan pendidikan politik yang baik dari ketiga pasangan calon dan juga pada beberapa kesempatan mendapatkan hiburan.
Pertanyaan penting yang menyusul kemudian, apakah debat pertama kemarin bisa memengaruhi pemilih untuk mengubah pilihannya dari satu kandidat ke kandidat lainnya?
Pada 1940-an, sekelompok peneliti dari Universitas Columbia menyelenggarakan penelitian mengenai perilaku pemilih di Amerika.
Mereka hendak mencari tahu apakah ada efek iklan-iklan kampanye terhadap preferensi pemilih.
Belakangan, hasil penelitian tim dari Columbia University ini dikenal sebagai teori sosiologis tentang perilaku pemilih.
Disebut demikian, karena alih-alih menemukan efek kampanye terhadap pemilih, mereka menemukan bahwa ternyata pemilih pada dasarnya sudah memiliki posisi awal yang tidak berubah walaupun kampanye gencar dilakukan.
Para peneliti ini menyimpulkan bahwa keputusan memilih dibentuk faktor-faktor sosiologis dan loyalitas terhadap identitas sosial politik.
Kesimpulan ini datang dari studi mereka yang dilakukan melalui dua survei berulang terhadap responden yang sama yang dipilih secara acak di dua counties (setingkat kabupaten dalam struktur administrasi di Indonesia), atau dikenal sebagai survei panel.
Survei pertama dilakukan di Erie Country di negara bagian Ohio, di tengah kampanya capres dan cawapres Roosevelt dan Wilkie 1940.
Sementara survei kedua dilakukan di Elmira County di negara bagian New York, di tengah pertarungan pilpres antara Truman dan Dewey di 1948.
Studi Universitas Columbia ini menemukan bahwa atribut sosiologis, baik pada level individu (misalnya agama dan status sosial ekonomi) dan juga pada level agregat (seperti wilayah dan tempat tinggal), merupakan penentu yang sangat penting yang bisa menjelaskan hasil dari pemilihan di Amerika Serikat.
Selain itu, studi itu juga menemukan bahwa dalam merespons kampanye, pemilih pada dasarnya mencari kandidat yang memiliki karakteristik sosiologis yang sama dengan mereka.
Berdasarkan studi 1940 ini, Lazarsfeld dan Berelson membangun apa yang mereka sebut sebagai index of political predisposition, yang pada dasarnya merupakan tabulasi silang (cross-tabulation) dari pengelompokan agama (Katolik dan Protestan), tempat tinggal (urban dan rural), dan pekerjaan.
Mereka menemukan bahwa pemilih dengan karakter: beragama Protestan, tinggal di wilayah rural dan memiliki status sosial ekonomi yang mapan akan cenderung memilih Partai Republik/kandidat Partai Republik.
Sementara, pemilih dengan karakter beragama Katolik, tinggal di wilayah urban cenderung akan memilih Partai Demokrat.
Ada dua pelajaran relevan untuk kita di Jakarta hari ini dari studi Universitas Columbia bertahun-tahun lalu itu.
Pertama, studi itu pada dasarnya menyampaikan bahwa pemilih memiliki predisposisi atau posisi awal yang mengakar terhadap kandidat atau partai.
Predisposisi itu didasari, misalnya, tradisi keluarga ataupun identitas sosial.
Oleh karena itu, memilih (voting), bukanlah proses pengambilan keputusan.
Sebaliknya, masa pemilu justru merupakan masa untuk mengonfirmasi identitas sosial dari para pemilih. (Pippa Norris, 1998).
Sebagai akibatnya, pemilih relatif tidak terpengaruh oleh kampanye.
Kedua, studi itu memperlihatkan bahwa voting adalah tindakan sosial yang terjadi di tengah konteks sosial tertentu.
Bisa berupa konteks struktur sosial, agama, dan lain-lain.
Pada titik inilah kita bisa menggunakan kerangka pemikiran dari hasil penelitian panjang Universitas Columbia ini yang beberapa bagian di antaranya relevan untuk memahami fragmentasi yang demikian tajam di antara para pemilih dalam proses pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Pertaruhan para kandidat
Ketiga kandidat gubernur memasuki ruang debat pertama tempo hari dengan pertaruhan masing-masing karena ketiganya mengalami kontroversi masing-masing menjelang debat.
Bagi Ahok sebagai petahana, debat pertama ini merupakan pertaruhan mengenai dua hal.
Pertama, kemampuannya menjelaskan secara teknis mengenai pencapaiannya sebagai Gubernur Jakarta.
Kedua, membuktikan bahwa ia bisa tampil tidak emosional dan tampak bersahabat di tengah proses pengadilan yang tengah dijalaninya karena tuduhan penistaan agama.
Dua beban ini tampak berat dijalankan Ahok pada debat pertama yang baru lalu.
Ia terlihat tidak menjadi dirinya sendiri dan pada awal debat karena sempat Ahok berulang kali mengeluarkan pernyataan-pernyataan maaf.
Akan tetapi, toh Ahok kemudian pelan-pelan berhasil menjadi dirinya sendiri dan tajam menjawab atau mengkritik kandidat lain.
Bagi Agus Yudhoyono, debat kemarin merupakan arena untuk menjawab keraguan akan kemampuannya berkomunikasi dan berdiskusi, setelah berulang kali menolak hadir dalam debat yang diselenggarakan pihak non-KPUD.
Terbukti, Agus bisa menjadi peserta debat yang baik dan konstruktif.
Sementara itu, bagi Anies Baswedan, debat kemarin mungkin merupakan arena untuk melumerkan kontroversi kehadiran dan apa yang ia katakan beberapa waktu lalu di markas FPI di Petamburan.
Dengan pertaruhan sedemikian rupa dari ketiga kandidat, sebetulnya yang terjadi ialah proses menenangkan para pendukung masing-masing, dan membuktikan bahwa mereka bisa tampil baik dan berusaha konsisten dengan jalan pikiran konstituen masing-masing.
Oleh karena itu, ketika misalnya Agus Yudhoyono bersikukuh mengatakan bahwa bantuan langsung tunai ialah salah satu opsi untuk mengurangi kemiskinan, yang akan menganggukkan kepala tanda setuju adalah konstituen lama warisan Soesilo Bambang Yudhoyono yang familiar dengan program bantuan langsung tunai.
Terlalu abstrak
Demikian juga ketika Ahok menyatakan dengan keyakinan penuh bahwa penggusuran warga yang tinggal di bantaran kali dan memindahkannya ke rumah susun, merupakan wujud kepeduliannya pada rakyat Jakarta yang miskin.
Pada dasarnya ia tidak bisa mengubah pandangan pemilih yang berpandangan sebaliknya.
Atau ketika Anies Baswedan dalam debat tersebut menyatakan bahwa kerja adalah penting, namun kata-kata gagasan jauh lebih penting maka ia pada dasarnya sedang menyasar konstituennya yang kritis terhadap orientasi jangka pendek dalam berbagai kebijakan.
Sebaliknya, bagi orang-orang di luar konstituennya pendapat seperti itu tentu saja akan dilihat terlalu abstrak.
Dengan kata lain, pemilih telah memiliki predisposisi masing-masing terhadap setiap kandidat sebelum debat dimulai.
Ketiga kandidat juga tampak menyadari hal tersebut. Predisposisi pertama ialah aspek agama.
Agus dan Ahok tampak berusaha tampil moderat dengan tidak menyinggung faktor agama karena alasan berbeda.
Agus berusaha keras tampil menjadi calon 'tengah' sedangkan Ahok berusaha menampilkan sisi dirinya yang tidak kontroversial.
Di sisi lain, Anies terlihat berusaha beresonansi dengan pemilih yang lebih kental identitas keislamannya.
Predisposisi kedua menurut hemat penulis ialah mengenai karakter pemilih.
Ahok berusaha keras membawa pemilih/penonton untuk berpikir retrospektif terhadap kandidat, yaitu menekankan apa-apa saja yang telah dilakukannya dan bukan yang dijanjikannya.
Sebaliknya, Agus dan Anies bekerja keras selama debat membawa pemilih/penonton untuk berpikir prospektif, yaitu menekankan pada prospek baik apabila salah satu di antara mereka yang terpilih dan mengalahkan petahana.
Oleh karena itu, tampak dalam debat pertama itu bahwa Ahok lebih banyak mendapat 'serangan' dari dua sisi, sesuatu yang wajar karena dua kandidat lain harus menunjukkan bahwa kinerja petahana selama menjabat perlu dievaluasi secara kritis.
Terhadap hal ini, sejatinya juga terdapat posisi awal pemilih, apakah mereka telah menetapkan diri menjadi retrospective voters, yaitu pemilih yang menekankan kinerja apa yang telah dipertunjukkan para kandidat dalam pemerintahan kota, atau menjadi prospective voters yaitu pemilih yang mencari kandidat yang bisa menampilkan janji yang dianggap kredibel dan bisa dicapai.
Kedua macam voters ini ada di tengah konstituen dan adalah tugas para kandidat untuk meyakinkan mereka.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved