Optimalisasi Alih Kelola Sekolah Kejuruan

Agus Wibowo Direktur Pendidikan SEEB Institute Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
16/1/2017 07:40
Optimalisasi Alih Kelola Sekolah Kejuruan
()

KEBIJAKAN alih kelola sekolah menengah kejuruan (SMK) dari kabupaten/kota ke pemerintah provinsi sejatinya positif. Sebagaimana amanat Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 12 Ayat 1 A jo Pasal 15 tentang Pemerintah Daerah, disebutkan adanya pembagian pengelolaan bidang pendidikan. Dalam matriks lampiran UU tersebut, diketahui bahwa pendidikan menengah dan khusus (SMA/SMK) dikelola pemerintah provinsi, sedangkan kabupaten/kota hanya bertugas menangani pendidikan dasar (SD/SMP), anak usia dini (PAUD), dan nonformal (dikmas).

Kebijakan alih kelola tersebut bertujuan agar pemerintah kabupaten/kota lebih fokus mengurusi pendidikan dasar, PAUD, dan pendidikan masyarakat (Dikmas). Sementara itu, pemerintah provinsi lebih mudah menyeragamkan kebijakan pengelolaan sekolah, memprioritaskan pendidikan menengah, dan menuntaskan wajib belajar (wajar) 12 tahun. Lebih dari itu, pelimpahan alih kelola SMK/SMA ke provinsi bisa meminimalkan lembaga pendidikan terlibat dalam praktik politik yang sangat rentan di tingkat kabupaten/kota (Hamid Muhammad, 2017).

Selama pelaksanaan desentralisasi pendidikan di tingkat kabupaten/kota, Muhammad Nuh (2011) menemukan adanya kekeliruan tafsir yang dilakukan kepala daerah. Selain penempatan orang-orang yang tidak tepat, tulis Muhammad Nuh, dari sisi pendanaan sering salah sasaran. Oknum kepala daerah di beberapa tempat lebih sering mendahulukan kucuran dana pendidikan kepada mereka yang turut mendukung serta memenangkan pemilu kada dirinya.

Temuan Suyanto (2011) juga semakin menegaskan politik daerah yang ikut campur sangat merugikan dunia pendidikan. Sebagaimana kepala dinas pendidikan, tulis Suyanto, jabatan kepala sekolah--negeri terutama--lebih sering bersinggungan dengan aspek politis. Kedekatan dengan kepala daerah/wali kota menjadi semacam ‘kartu sakti’ untuk menjadi kepala sekolah.

Senada dengan Suyanto, Tatang S Iskandar (2010) sampai pada kesimpulan bahwa jabatan kepala sekolah menjadi salah satu aset politik untuk melanggengkan kekuasaan.

Masalah baru
Kendati kebijakan alih kelola SMK positif, pemerintah terkesan gagap dalam implementasinya. Masalah baru justru timbul di banyak daerah. Di Jawa Barat misalnya, lebih dari 28 ribu guru SMK/SMA yang beralih status kepegawaian dari PNS kabupaten/kota ke provinsi belum memperoleh gaji. Hal serupa juga dialami 12.914 guru PNS di Garut, 38.278 guru PNS di Jawa Tengah (Jateng), dan daerah-daerah lain seperti Jambi, Sumatra Selatan, Bali, dan Surabaya.

Kekarut-marutan administrasi --dalam hal ini gaji guru-- tentu akan berdampak pada aspek lain; seperti motivasi mengajar dan kesejahteraan guru. Bahkan jika terus dibiarkan, kinerja guru akan menurun yang merembet pada kualitas pendidikan di SMK. Kekhawatiran absennya peran aktif kabupaten/kota merupakan problem bawaan selanjutnya dari alih kelola SMK. Kabupaten/kota sangat memahami kondisi dan kebutuhan di wilayahnya. Ketika alih kelola dilimpahkan ke provinsi, dikhawatirkan kabupaten/kota akan pasif, bahkan kurang peduli terhadap kemajuan SMK di daerahnya. Hal itu jelas akan menyulitkan pengelolaan oleh provinsi, di samping menurunkan kualitas bahkan daya serap lulusan SMK di sebuah kabupaten/kota.

Gagap alih kelola dari kabupaten/kota ke provinsi tentu sangat bertentangan dengan semangat Presiden Joko Wododo (Jokowi) untuk lebih mengarusutamakan SMK. Menurut Jokowi, SMK yang dikelola dengan baik dan efektif tidak saja mengurangi angka pengangguran, tetapi juga bahkan meningkatkan daya saing SDM bangsa. Akhir 2016 lalu peringkat daya saing Indonesia merosot tajam. Sebagaimana dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF), Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness) 2016-2017, daya saing Indonesia merosot dari peringkat ke-37 di 2015 menjadi ke-41 dari 138 negara yang disurvei. Secara keseluruhan, skor Indonesia 5,42 jauh di bawah beberapa negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Thailand di posisi ke-34 dan Malaysia ke-25. Sementara itu, tiga negara dengan daya saing tertinggi ialah Swiss, Singapura, dan Amerika Serikat.

Menaker M Hanif Dhakiri (2016) menyatakan jumlah tenaga kerja asing di Indonesia mencapai 74 ribu orang dengan sebagian (21.271 orang) berasal dari Tiongkok. Meski masih bisa di kontrol, tutur Hanif, jika daya saing SDM kita semakin rendah, bakal kalah dengan tenaga kerja mancanegara.

Sebagaimana pendapat Finch & McGough (1981), SMK mampu menyiapkan peserta didik yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, kreatif, memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, serta memiliki kompetensi sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Apalagi, filosofi SMK menurut Sukamto (2011) dan Sundji Munadi (2012) memang didesain mampu menyiapkan peserta didik yang kreatif, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Pendek kata, SMK tidak hanya membentuk kemampuan kognitif, lebih dari itu membentuk mentalitas peserta didik yang terintegrasikan dengan baik kemampuan praktis, teoretis, maupun kompilasi keduanya.

Kerja sama
Alih kelola SMK dari pemerintah kabupaten/kota ke provinsi, perlu dilakukan secara holistis, dukungan segenap pihak, serta melalui mekanisme yang tertata dan dilakukan secara efektif. Perlu adanya persiapan yang matang, serta evaluasi kemampuan anggaran baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.

Selanjutnya pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten perlu duduk satu meja untuk membicarakan mekanisme dan solusi yang tepat, serta disepakati segenap pihak. Pemerintah pusat sebagai pemegang kepentingan kunci, melalui Badan Kepegawaian segera mendesain mekanisme pengurusan alih status PNS kabupaten/kota ke provinsi secara cepat dan mudah. Mestinya, karena menyangkut amanat UU, prosedur peralihan dari PNS kabupaten/kota ke provinsi tidak rumit dan berbelit-belit. Sesuai dengan semboyan Presiden Jokowi, kerja cepat dan kerja efektif perlu dilakukan dalam peralihan status ini.

Kesepahaman dengan Kementerian Keuangan juga perlu dimatangkan sehingga ketika diimplementasikan, tidak terjadi problem dari sisi penganggaran.

Bagi pemerintah kabupaten/kota, meskipun tanggung jawab pengelolaan SMK sudah ditangani provinsi, peran serta aktif mereka masih tetap dibutuhkan. Bagaimanapun, yang mengetahui kondisi riil di daerah ialah pemerintah kabupaten/kota. Selanjutnya, pemerintah kabupaten/kota lebih bisa fokus mengurusi jenjang pendidikan dasar, PAUD, dan dikmas. Diharapkan, ke depan pengelolaan pendidikan dasar, PAUD, dan dikmas akan jauh lebih profesional karena cakupan garapannya lebih sempit dan mudah.

Hal sama juga berlaku pada pemerintah provinsi. Ketika melakukan manajemen secara profesional, tidak akan ada lagi ketimpangan mutu pendidikan SMK di dalam provinsi yang sama. Itu disebabkan mutu sudah disesuaikan dengan standar nasional. Permasalahan kekurangan guru di suatu wilayah dan penumpukan di daerah lain akan bisa cepat diselesaikan karena mekanisme rotasi jauh lebih mudah--jika dibandingkan dengan pengelolaan masih dipegang pemerintah kabupaten/kota.

Ketika manajemen SMK ada di tangan provinsi, kita berharap kualitas, kompetensi, dan mutu pendidikan lulusan semakin meningkat. Proses politik yang sering mencampuri urusan pendidikan di kabupaten/kota diharapkan tidak akan terjadi lagi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya