SEBAGAI negara agraris dengan jumlah penduduk yang besar dan proporsi rumah tangga yang bekerja di pertanian lebih dominan, perhatian terhadap kesejahteraan petani menjadi sangat strategis. Hasil Sensus Pertanian 2013, sebanyak 26,14 juta rumah tangga merupakan rumah tangga tani. Dari total 26,14 juta rumah tangga petani di Indonesia, 14,62 juta (sekitar 56%) ialah petani gurem.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, angka kemisÂkinÂan di perdesaan jauh lebih tinggi, yakni 14,7% jika dibandingkan dengan perkotaan yang 8,34%. Ironisnya, penduduk miskin di perdesaan mayoritas para petani. Selain itu, dari tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan, daerah perdesaan juga masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan perkotaan.
Kedalaman kemiskinan di perdesaan mencapai 2,26%, sedangkan perkotaan hanya 1,25%. Lalu, keparahan kemiskinan di perdesaan sebesar 0,57% dan perkotaan 0,31%. Data statistik yang ditunjukkan BPS menunjukkan bahwa sejak 2004 sampai 2010, nilai tukar petani riil cenderung di bawah 100. Artinya, nilai tukar petani tersebut setelah tergerus oleh inflasi, daya beli petani cenderung rendah. Nilai tukar petani mencapai puncaknya pada 2012, yakni sebesar 105,26. Kemudian nilai tukar petani (NTP) kian menurun sejak 2012, sebesar 105,26% menjadi 102% pada 2014.
NTP nasional September 2015 sebesar 102,33 atau naik 1,04% jika dibanding dengan NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP disebabkan indeks harga yang diterima petani (It) naik sebesar 1,09% lebih besar jika dibandingkan dengan kenaikan indeks harga yang dibayar petani (Ib) sebesar 0,05%.
Berdasarkan data BPS, nilai tukar petani peternak (NTPT) September 2015, yang merupakan indikator kesejahteraan peternak, meningkat sebesar 1,26% ketimbang bulan lalu. Sebab, harga jual hewan ternak meningkat pada September, sementara harga yang dikeluarkan peternak tidak terlalu tinggi.
Di sisi lain, kesejahteraan petani tanaman perkebunan rakyat dan nelayan menurun pada September 2015, yakni masing-masing 0,44 dan 0,27 poin. Konsep NTP secara sederhana menggambarkan daya beli pendapatan petani. NTP dihitung dari rasio harga yang diterima petani (HT) terhadap harga yang dibayar petani (HB).
Distribusi kemiskinan Namun, konsep penghitungan NTP yang didasarkan pada kuantitas tetap belum sepenuhnya merupakan indikator kesejahteraan petani. Kenaikan harga produk yang diterima petani tidak identik dengan peningkatan pendapatan petani. Kenaikan harga yang diterima petani justru mengindikasikan kelangkaan suplai/produksi pertanian.
Konsep pengukuran NTP juga tidak mengakomodasikan perkembangan produktivitas, kemajuan teknologi, dan pembangunan. Dalam kaitan sebagai indikator kesejahteraan petani, penyempurnaan penghitungan NTP perlu dilakukan melalui pendekatan nilai, yaitu dengan memasukkan unsur kuantitas sehingga NTP merupakan rasio antara nilai pendapatan terhadap nilai pengeluaran.
Dengan memerhatikan distribusi kemiskinan terbesar di perdesaan yang sebagian besar dari kelompok itu ialah petani pangan, peningkatan produktivitas sektor pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani menjadi peran penting dalam mengatasi masalah kemiskinan. Studi yang pernah dilakukan Asian Development Bank (ADB) pada 2009 menunjukkan bahwa 82% pekerja miskin kini berada di perdesaan, dengan 66%-nya terkait pertanian. Mirisnya lagi, upah pekerja informal di sektor pertanian hanya sekitar 46% dari karyawan sektor formal. Untuk itu, diperlukan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada petani sehingga mereka memiliki kemampuan meningkatkan produktivitas yang setara dengan kelayakan tenaga kerja di sektor lain, bahkan dalam kondisi musim pancaroba seperti saat ini.
Musim panas yang lebih panjang dan potensi ancaman El Nino membuat sebagian laÂhan pertanian mengalami puso. Petani akhirnya mengalami kerugian dua kali, yaitu hasil pertanian yang menurun karena gagal panen dan membeli beras pada saat harga semakin tinggi di masa paceklik serta menipisnya sumber-sumber pendapatan yang dapat diperoleh.
Masa-masa sulit petani, seperti musim pancaroba dan ancaman El Nino atau La Nina, akan terus terjadi karena faktor perubahan iklim. Sektor pertanian merupakan sektor yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Beberapa studi menyebutkan bahwa tanpa dilakukannya adaptasi terhadap perubahan iklim, produksi tanaman pangan pada 2050 diperkirakan akan mengalami penurunan yang cukup signifikan, terÂutama padi yang merupakan produk pertanian paling esensial untuk masyarakat Indonesia. Implikasi produksi pertanian tentu saja ialah keÂsejahteraan petani yang akan semakin terhimpit.
Sektor hulu Untuk mengatasi kesejahteraÂan petani, kebijakan yang diharapkan ialah memasukkan NTP sebagai asumsi dalam penyusunan RAPBN. Sementara itu, langkah teknis perlu dilakukan, seperti perhatian pemerintah berupa perlinÂdungan terhadap nasib petani dari ancaman yang bersifat unpredictable. Perhatian tersebut bisa dalam bentuk asuransi pertanian, yaitu pemerintah memberikan kompensasi dari kegagalan panen akibat gangguan yang tidak dapat diatasi dan diprediksi.
Pemerintah juga harus meningkatkan investasi dari sekarang dalam bentuk adaptasi dan inovasi teknologi, seperti penggunaan varietas yang lebih mampu bertahan terhadap kondisi ekstrem, penggunaan bahan-bahan organik untuk meningkatkan kesuburan tanah, dan investasi untuk irigasi serta memperkuat tata niaga yang lebih menguntungkan petani.
Perhatian juga harus diÂarahÂkan pada kebijakan yang diÂarahÂkan terhadap penguatan dan perluasan organisasi petani, nelayan, peningkatan kapasitas, dan pemasaran (bisa dalam bentuk koperasi). Kebijakan subsidi pertanian, khususnya untuk tanaman pangan, akan efektif disatukan pada subsidi pascapanen melalui subsidi pembelian gabah petani. Dari sektor hulu, penting kiranya mengembalikan peran Bulog untuk mengontrol produksi dan ketersediaan pangan nasional yang tidak terbatas pada beras, tetapi pada seluruh bahan pangan pokok seperti jagung, gula, kedelai, daging, dan ikan. Hal itu bertujuan mengendalikan harga pangan yang selalu berfluktuasi.
Sementara itu, dari sisi hilir atau petani, perlu penerapan harga pokok petani (HPP) di seluruh produk pangan pokok untuk memberikan kepastian harga bagi petani dan nelayan sehingga tidak terjebak pada praktik tengkulak yang merugikan. Kebijakan swasembada pangan harus pula diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani. Pemberdayaan petani juga perlu dilakukan melalui dukungan permodalan yang kuat agar dapat memberikan nilai tambah terhadap hasil produksi pertanian dan perikanan yang dikontrol langsung oleh organisasi petani, nelayan, dan pembudi daya ikan Indonesia.