HARIAN The Straits Times 6 Oktober 2015 kemarin memuat artikel Profesor Jayakumar dan Profesor Tommy Koh berjudul The Haze, International Law and Global Cooperation. Profesor Jayakumar ialah Ketua Penasihat Internasional dari National University of Singapore, sedangkan Profesor Tommy Koh ialah Ketua Dewan Pimpinan Pusat Hukum Internasional dari universitas yang sama.
Profesor Jayakumar dan Profesor Koh mengingatkan kita bahwa kebakaran hutan di Indonesia bukanlah fenomena alam atau sering disebut pengacara sebagai ‘tindakan Tuhan’ (an act of God). Kebakaran hutan ialah perbuatan manusia dan mereka yang bertanggung jawab ialah perusahaan kelapa sawit serta perusahaan pulp dan kertas. Motif mereka ialah uang dan keuntungan. Karena itu, mereka harus bertanggung jawab atas perilaku dan tindakan ilegal mereka.
Sementara itu, menyangkut hukum internasional, Jayakumar dan Koh menulis bahwa prinsip kedua dari hukum itu mengatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kegiatan dalam yurisdiksinya tidak menyebabkan kerusakan lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasional. Dengan kata lain, Indonesia bertanggung jawab atas kerugian dan kerusakan yang diakibatkan kegiatan dalam yurisdiksinya yang dialami negara tetangga. Intinya, Indonesia secara moral dan hukum bertanggung jawab atas kabut asap.
Apa yang terjadi beberapa bulan terakhir memang membuat kita miris. Pembakaran hutan dan lahan berlangsung masif di Kalimantan dan Sumatra. Pakar kehutanan Institut Pertanian Bogor, Profesor Bambang Hero Sahardjo, pernah menyatakan di sebuah harian nasional bahwa sebanyak 60%-80% kebakaran hutan dan lahan di Sumatra bersumber dari penyiapan lahan dengan cara dibakar oleh perusahaan. Pelaku pembakaran tersebut termasuk perusahaan yang besertifikasi lingkungan.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa aktivitas pembukaan lahan dengan pembakaran membutuhkan biaya hanya seperempat dari biaya tanpa pembakaran. Hitung-hitungan ekonomi itulah yang membuat banyak korporasi tetap melakukan pembakaran saat penyiapan lahan. Akibatnya, hingga kini stigma yang diberikan masyarakat internasional kepada Indonesia ialah sebagai eksportir asap.
Indonesia nyaris tak pernah lowong mengekspor asap ke negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Kabut asap pekat yang terjadi beberapa hari terakhir ini kembali meneguhkan stigma itu. Harian The Straits Time edisi Kamis (17/9) memuat berita dengan judul besar South-East Asia’s Haze: What’s Behind the Annual Outbreaks?.
Warga, turis, dan pemerintah Singapura tahun lalu juga melontarkan kemarahan atas ekspor asap dari Indonesia. Ekspresi kemarah-an serupa juga pernah dilakukan warga Malaysia pada 2006 dengan berunjuk rasa ke Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur. Bahkan, ekspresi kemarahan warga dan Pemerintah Thailand saat kebakaran hutan hebat pada 1997 dituangkan dalam editorial harian Bangkok Post edisi 14 Oktober 1997 berjudul Cemar yang Diderita Indonesia tak akan Hilang Tertiup Angin.
Konvensi ramsar Kabut asap di Sumatra dan Kalimantan bukan saja membuat kita miris. Kenyataan itu juga sangat ironis dengan tekad pemerintah dalam menyelesaikan berbagai upaya penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut dalam rangka penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Presiden Jokowi telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2015 atau perpanjangan Inpres Nomor 6/2013 juncto Inpres Nomor 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut atau lebih dikenal dengan Inpres Moratorium Perizinan Hutan.
Inpres tersebut menegaskan agar dilanjutkan penundaan pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru, juga tentang penyempurnaan kebijakan tata kelola izin pinjam pakai dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam serta peningkatan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan memerhatikan kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik, antara lain melalui restorasi ekosistem.
Dua pertiga dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi pada lahan basah gambut. Hal itu tidak diketahui secara luas bahwa Indonesia memiliki lahan basah gambut tropis terbesar di dunia. Penelitian telah menunjukkan bahwa lahan basah itu kaya akan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, dunia internasional harus bekerja sama dengan Indonesia untuk melestarikan lahan basah gambut tersebut.
The Convention on Wetlands of International Importance, atau dikenal dengan Konvensi Ramsar, merupakan perjanjian antarpemerintah yang menyediakan kerangka kerja bagi aksi nasional dan kerja sama internasional dalam hal konservasi dan penanganan sumber daya pada lahan basah. Semua negara tetangga harus bergabung ke dalam Konvensi Ramsar sehingga dapat bekerja sama dengan negara-negara lain untuk membantu Indonesia dalam melindungi lahan basah gambut Sumatra dan Kalimantan.
Business as Usual Tekad Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% pada 2020 menunjukkan betapa seriusnya pemerintah Indonesia dalam menangani masalah lingkungan. Tekad tersebut disampaikan Presiden SBY saat berpidato pada pertemuan G-20 di Pittsburg, AS, September 2009. Ambisi besar tersebut harusnya didukung semua pemangku kepentingan, utamanya para pemegang konsesi hak pengusahaan hutan dan/atau korporasi.
Mereka harus memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kelestarian lingkungan, tidak meng-usahakan hutan secara business as usual yang hanya mengejar keuntungan finansial semata tanpa memerhatikan kelestarian lingkungan. Lebih-lebih, mereka yang telah mengantongi sertifikasi lingkungan. Tindakan mereka bisa dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana dan perdata setimpal dengan perbuatannya.
Para penegak hukum tidak boleh lelah dalam upaya penegakan hukum dan aturan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelaku pembakaran hutan/lahan dapat dipenjara 10 tahun dan denda Rp10 miliar.
Undang-Undang Kehutanan juga mengancam pelaku pembakaran hutan dengan hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp5 miliar. Hukuman penjara dan denda maksimal harus diberikan kepada aktor-aktor intelektual pembakar hutan/lahan. Tanpa penegakan hukum yang tegas, kabut asap yang sangat memalukan ini akan selalu terulang dan terulang lagi.