Masih Percayakah Berita di Medsos

S Sahala Tua Saragih Dosen Prodi Jurnalistik Fikom Unpad
05/11/2016 00:00
Masih Percayakah Berita di Medsos
(ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

'NASIB Media Daring Suram'. Itu judul berita harian Media Indonesia pada 26 Agustus lalu. Berita ini mengungkapkan realitas masa depan media dalam jejaring (daring) di Indonesia jauh lebih suram daripada nasib media cetak. Hal itu dilatarbelakangi semakin aktifnya media sosial (medsos) yang menggantikan posisi media daring, termasuk dalam hal penggalangan opini publik. Selama ini banyak orang beranggapan media cetak akan gulung tikar karena kehadiran media daring. Ternyata anggapan tersebut salah total. Fakta yang terjadi justru sebaliknya.

Hal ini sudah dipublikasikan dua koran besar Amerika Serikat (AS), The New York Times dan Observer, beberapa waktu lalu. Anggota Dewan Pers dan Redaktur Senior Media Indonesia, Sabam Sinaga, mengungkapkan fakta itu dalam acara Bimbingan Teknis Jurnalisme Online pada Era Digital di Jakarta, beberapa waktu lalu. Di AS, katanya, media daring kalah bersaing. Media baru itu mulai ditinggalkan masyarakat karena mereka beralih ke medsos dan aplikasi. Bahkan, masa depan jurnalisme media daring juga dibayangi ketidakpastian karena iklan yang menjadi sumber utama pendapatan ternyata tersedot ke Facebook dan Google. Sabam menegaskan di Indonesia lebih parah karena media daring menganut jurnalisme umpan klik atau clickbait journalism yang merupakan versi baru koran kuning.

Berita bohong
Di Indonesia, medsos tidak/belum bisa diandalkan sebagai sumber utama berita atau informasi terbaru. Berbagai kasus besar membuktikan hal itu. Bahkan tak jarang media elektronik dan daring mengutip atau menyambungsiarkan informasi di medsos yang dianggap memiliki nilai berita tinggi. Padahal, informasi yang menghebohkan masyarakat itu hanyalah karangan atau pekerjaan iseng para pengguna medsos. Tak terhitung jumlah berita bohong yang membanjiri berbagai medsos setiap detik di negeri ini.

Banyak pengguna medsos yang tidak bertanggung jawab terhadap informasi yang mereka buat (ciptakan) dan disebarluaskan. Mereka tak peduli dengan prinsip, norma hukum, dan etika profesi yang berlaku dalam dunia jurnalisme. Jadi, apakah berbagai informasi terbaru di medsos dapat dipercaya? Apakah semua berita baru di media massa dapat dipercaya? Peristiwa serangan teroris di Jl MH Thamrin (14/1) menjadi contoh nyata betapa banyak wartawan media elektronik dan daring di Jakarta ikut menyebarkan berita bohong di medsos. Breaking News di dua televisi berita menyiarkan terjadi pula ledakan bom di Slipi, Kuningan, dan Cikini.

Mereka sama sekali tak menyebut sumber beritanya. Celakanya informasi tersebut langsung disambar BBC World News.
Media daring Viva.co.id juga turut mengutip dan menyebarluaskan berita bohong yang menyatakan telah terjadi ledakan bom di berbagai tempat di Jakarta. Warta Kota Online pun ikut-ikutan menyebarluaskan informasi tentang petugas satpam (satuan pengamanan) gedung Sarinah yang tewas kena bom teroris. Wartawan media daring itu mengambil berita bohong ini dari status seorang pengguna Facebook, Nanik Sudaryati.

Apakah para wartawan dan penyiar itu tidak/belum pernah membaca UU No 40/1999 tentang Pers, UU No 32/2002 tentang Penyiaran, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan Kode Etik IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia)? Apakah mereka tidak terlebih dahulu dididik di bidang jurnalisme, termasuk hukum dan etika media massa, sebelum menekuni profesi tersebut?
Menurut dua ahli jurnalisme tersohor dari Amerika Serikat, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam The Elements of Journalism, What Newspeople Should Known and The Public Should Expect (2001), tujuan utama di antara semua tujuan jurnalisme ialah menyediakan informasi yang dibutuhkan orang agar bebas dan mampu mengatur diri sendiri.

Untuk mewujudkan itu, ada sembilan elemen jurnalisme yang mesti diperhatikan dan diterapkan para wartawan. Elemen ketiga berbunyi 'intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi', dan elemen kedelapan menyatakan, 'jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional'. Secara lengkap Bill dan Tom menulis kesembilan elemen jurnalisme sebagai berikut. Pertama, kewajiban pertama jurnalisme ialah pada kebenaran. Kedua, loyalitas pertama jurnalisme kepada warga.

Ketiga, intisari jurnalisme ialah disiplin dalam verifikasi. Keempat, para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita. Kelima, jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan. Keenam, jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik dan dukungan warga. Ketujuh, jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan. Kedelapan, jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional. Kesembilan, para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Jangan dirusak
Sejarah membuktikan berita-berita di medsos kerap sekali berisi kebohongan, bahkan fitnah, dan adu domba terkait dengan SARA. Kenyataan ini makin meledak-ledak menjelang dan pada masa pemilu atau pilkada. Jadi, kita masih tetap mengandalkan berita-berita di media massa, termasuk berbagai media daring. Berbeda dengan kisah dari AS tadi, terbukti di Republik ini berbagai medsos tak bisa diandalkan sebagai sumber utama informasi kita. Di sisi lain, keadaan ekonomi di tingkat nasional dan internasional pun terus berubah-ubah, yang mau tak mau berpengaruh langsung terhadap bisnis media.

Jumlah medsos dan penggunanya niscaya terus meningkat. Jumlah aktivis jurnalisme warga juga pasti bertambah. Namun, prinsip-prinsip jurnalisme sama sekali tak boleh dilanggar siapa pun. Kesibukan, kecepatan, dan aktualitas terkait dengan berita yang dilaporkan wartawan atau pekerja media lainnya haruslah tetap menjunjung tinggi etika dan profesionalisme. Persaingan sengit bukan alasan untuk melanggar prinsip, norma hukum, dan etika jurnalisme. Dalam setiap benak wartawan harus terlontar tiga pertanyaan pokok ini.

Pertama, apakah informasi atau fakta ini benar? Ini menyangkut akurasi dan kelengkapan laporan (berita). Kedua, apakah informasi ini baik? Dalam konteks ini wartawan harus memiliki rujukan utama berupa berbagai norma, etika, dan estetika. Ketiga, apakah informasi ini berfaedah bagi khalayak medianya? Prinsip yang satu ini harus tetap dipegang teguh segenap wartawan di Tanah Air; wujud dan tampilan media boleh terus berubah-ubah akibat inovasi dan revolusi TIK, tetapi prinsip-prinsip jurnalisme abadi.

Sekali lagi, dalam konteks masyarakat Indonesia, media arus utama, baik cetak, elektronik maupun daring, masih tetap menjadi sumber terutama berita-berita penting, aktual, dan tepercaya. Kepercayaan khalayak ini mesti dijaga dan dipelihara dengan cermat dan tekun oleh segenap pekerja media melalui praktik jurnalisme yang profesional. Janganlah para wartawan meniru perilaku buruk sejumlah pengguna medsos yang tak bertanggung jawab.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya