Prospek Pilihan Ahok-Djarot

Gun Gun Heryanto
21/9/2016 07:11
Prospek Pilihan Ahok-Djarot
(Gun Gun Heryanto -- MI/Susanto)

PDI Perjuangan telah mengambil keputusan. Pilihannya jatuh ke Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat. Pilihan ini tidaklah mengagetkan karena penanda sikap telah ditunjukkan elite utama PDIP, Megawati Soekar­noputri. Pilihan mendukung petahana memang pilihan konservatif, artinya langkah ini berada di zona nyaman dan aman meneruskan pilihan PDIP di 2012 yakni pasangan Jokowi-Ahok.

Faktor pilihan
Apa argumentasi yang bisa menjelaskan pilihan PDIP ke pasangan Ahok-Djarot? Kita bisa mengulasnya dari perspektif elite dan publik. Perspektif yang biasanya digunakan para elite dalam menentukan dukungan biasanya struktur peluang (opportunity structure). Meminjam analisis Gary W Cox dalam bukunya, Making.

Pertama, kemungkinan perolehan dukungan dari para pemilih. Ini pertimbangan rasionalitas prospek kemenangan yang tergambar dari kandidat. Terlepas dari ragam serangan ke Ahok, data menunjukkan dia memiliki modal dasar elektoral memadai. Modal tersebut ialah tingkat popularitas, tingkat keterpilihan, tingkat disukai dan tingkat penerimaan yang memadai. Khusus untuk tingkat keterpilihan, hingga saat ini Ahok masih di atas nama-nama yang saat ini beredar.

Kedua, faktor benefits of office. Bisa dimaknai sebagai keuntungan kekuasaan dalam hal ini kuasa dan ­otoritas. Bagi PDIP, posisi DKI merupakan wilayah prestisius yang harus dimenangi. Tak semata soal Pilkada DKI, tetapi juga soal perencanaan strategis Pemilu 2019 baik pileg maupun pilpres. PDIP akan me­nguasai DKI lewat representasi Djarot, Jawa Tengah dengan Ganjar Pranowo, Jawa Timur kemungkinan mendorong Tri Rismaharini dan bisa saja memersuasi untuk memberi dorongan koalisi dukung Ridwan Kamil di Jawa Barat. Dengan demikian, PDIP bisa menguasai battle ground utama pasar elektoral Indonesia.

Ketiga, faktor cost of entry. Biasanya skema koalisi dalam proses kandidasi menjadikan faktor biaya pertarungan sebagai bahan pertimbangan partai. Hambatan dalam proses pertarungan elektoral biasanya adalah titik temu di faktor ketiga ini. Tentu yang bisa menjelaskan soal ini ialah para kandidat dan partai-partai yang mengusung karena biasanya menjadi perbincangan dan konsensus di panggung belakang.

erlepas dari ketiga faktor di atas, tentu dalam konteks pilihan PDIP ini kita tak bisa menafikan sosok Megawati sebagai veto player. Sedari awal sinyal terpancar kuat dari komunikasi interpersonal dan komunikasi politik Mega pada Ahok. Mega beberapa kali secara demonstratif menunjukkan pesan tak ada masalah antara dirinya dengan Ahok meskipun banyak politisi PDIP yang jadi hardiner dan agresif menyerang Ahok. Di situasi inilah pendulum politik PDIP ada di Mega. Dalam tradisi PDIP, ada batasan afiliatif yang sangat kuat antara putusan, kebijakan, dan tindakan partai dengan pilihan sikap Megawati.

Konsolidasi politik
Membaca peta pilkada setelah pilihan sikap PDIP ini menjadi penting. Pasangan Ahok-Djarot menjadi semakin prospektif di pasar pemilih. Secara matematis, partai yang mengusung Ahok-Djarot melonjak dari setara 24 kursi yang terdiri dari NasDem, Golkar dan Hanura menjadi 52 kursi dengan masuknya 28 kursi PDIP. Hal ini secara psikopolitis tentu akan sangat menguntungkan Ahok.

Dukungan PDIP juga membuat situasi acak menjadi lebih konsolidatif bagi Ahok. PDIP merupakan partai yang bisa mengusung kandidat sendiri, dan kemarin-kemarin punya kans mendorong ka­dernya sendiri seperti Risma untuk maju. Jika PDIP mengusung sosok non-Ahok tentu akan jadi lokomotif kongsi politik kekuatan di luar Ahok. Ada 82 kursi dukungan di luar Golkar, Hanura dan NasDem. Hitungan ini memosisikan PDIP ditunggu sikapnya oleh partai-partai lain.

Dengan tidak jadinya PDIP sebagai pengubah konfigurasi, kemungkinan besar kekuatan non-kongsi Ahok terfragmentasi. Yang sudah menunjukkan sikap agak jelas ialah Gerindra dan PKS. Jika dilihat dari komposisi dukungan, kedua partai ini memiliki 26 kursi dukungan di DPRD. Nyatanya, paket Sandiaga-Mardani belum tentu bisa diterima PKB, PPP, PAN dan Demokrat, artinya kini dukungan 28 kursi di luar Ahok-Djarot dan Sandiaga-Mardani, sesungguhnya bisa membentuk poros ketiga. Dari bacaan ini jelas Pilkada DKI 2017 berpeluang diikuti 3 pasangan kandidat.

Pasangan Ahok-Djarot punya prospek dengan syarat, pertama mampu mengonsolidasikan infrastruktur pemenangan. Kedua, komunikasi Ahok-Djarot dengan warga. Sebagai petahana tentu mereka akan menjadi sasaran utama attacking campaign berbagai pihak. Basis kinerja dan tingkat kepuasan publik DKI atas kinerja mereka lah yang pada akhirnya bisa menyelamatkan masa depan politiknya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya