Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
BERKAH 71 tahun kemerdekaan RI tampaknya belum dinikmati seluruh anak bangsa. Tertangkapnya 13 pelaku perdagangan manusia (human trafficking/HT) yang beroperasi di desa-desa di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak 2015 hingga 2016 dengan korban mencapai 941 anak NTT sungguh tamparan yang menyakitkan bagi wajah kemanusiaan kita. Anak-anak dengan rata-rata berusia 15-16 tahun itu dijual layaknya hewan di pasar mulai harga Rp4,5 juta hingga Rp27,5 juta per orang, sebagaimana disampaikan Brigjen Drs Eustaceus Widyo Sunaryo saat jumpa pers di Markas Polda NTT, Senin (22/8). Bahkan, seorang agen perdagangan manusia dari Surabaya tak tanggung-tanggung menukar anak dengan mobil Daihatsu Xenia. Diduga, para pelaku itu berasal dari berbagai profesi, antara lain petugas groundhandling Bandara El Tari Kupang, pembuat KTP, akta kelahiran (palsu), dan pembuat paspor. Kasus HT di atas tak mungkin mewakili realitas karena ibarat gunung es yang menyembunyikan fakta sesungguhnya sehingga tak menutup kemungkinan jumlah kasus tersebut sangatlah besar. Ini setidaknya makin mengukuhkan tiga hal. Pertama, tribalitas eksploitasi manusia terus terjadi di tengah gegap gempitakampanye humanisme pembangunan. Tesis Thomas L Friedman yang menyebutkan di era globalisasi, dunia itu datar, kian tepat. Datar tidak saja dalam pengertian meluruhnya batas-batas teritorial antarnegara yang membuat lalu lintas modal dan manusia mengalir secara masif karena penetrasi kapital, tetapi juga datar dalam pengertian permisivitas terhadap kerakusan, eksploitasi, dan penjajahan struktural manusia, ketika semua itu terlepas dari barikade moral dan kemanusiaan, yang sejatinya ditentang rezim peradaban. Kian bertambahnya jumlah kasus perdagangan manusia terutama yang menimpa kaum minoritas di tengah gencarnya isu-isu demokrasi diembuskan menunjukkan suatu paradoks yang makin menempatkan manusia dalam pusaran kapitalisasi raksasa.
Pembiaran sistematik
Kedua, segregasi kelompok sosial dalam demokrasi bukan makin dipersempit, melainkan justru diperlebar. Dengan demikian, identitas, harkat, dan martabat manusia seakan tidak bermakna. Kelompok minoritas yang mestinya diproteksi lewat konstitusi dan kebijakan justru menjadi tersandera. Terungkapnya data nasional, yaitu mayoritas korban perdagangan manusia adalah perempuan (80%) dengan tingkat pendidikan mayoritas SD (30,64%), dengan wilayah kerja dan profesi para korban mayoritas sebagai PRT (56,99%), prostitusi (16,53%), nelayan (5,93%), perkebunan (5,15%), pelayan (2,38%), pabrik (2,22%), dan konstruksi (1,99%), membuktikan hal tersebut (Pitaloka, 2013). Selain itu, terungkap pula provinsi dengan jumlah korban terbesar perdagangan manusia, yakni Jawa Barat 1.218 orang (26,9%), disusul Kalimantan Barat (15,62%), Jawa Tengah (12,62%), Jawa Timur (11,85 %), NTB (6,11%), Sumatra Utara (5,85%), dan NTT (5,29%n). Mereka masuk lingkaran human trafficking karena dilatari masalah ekonomi (87,65%) dengan membiarkan diri mereka terluka secara ekonomi, fisik, psikologis, seksual, bahkan tak jarang harus bertaruh nyawa. Ketiga, ada pembiaran sistematik dari pemerintah lokal terhadap fenomena HT. Hal ini tak berlebihan karena kasus tersebut terus terjadi dari waktu ke waktu dengan jumlah korban bak bola salju. NTT sebagaimana diketahui merupakan daerah yang masih digolongkan tertinggal. Akses masyarakat untuk memperoleh penghidupan yang sejahtera dan berkeadilan secara umum masih minim. Sementara itu, kebijakan untuk memperkuat opsi melindungi kelompok yang minoritas dan yang rentan dengan kemiskinan belum efektif. Buktinya, kaum perempuan, anak-anak berusia sekolah, anak-anak jalanan, berdasarkan penelitian yang penulis lakukan akhir 2015 lalu, belum memperoleh ruang yang adil dalam beraktualisasi dan menyatakan hak-hak mendasar.
Pembiaran seperti itu membuat warga minoritas tersebut mudah terjebak dalam perangkap kriminalisasi dan kejahatan sosial seperti kasus pelecehan anak di bawah umur, meningkatnya jumlah prostitusi dari kelompok masyarakat miskin sebagai jalan menyambung hidup, yang justru distigma sebagai musuh pembangunan. Watak antagonisme populis itu menempatkan NTT sebagai wilayah yang selalu berada dalam keterkucilan, baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Ini diperparah lagi dengan model penegakan hukum sungsang. Lebih garang terhadap kejahatan konvensional, yang sering dipertunjukkan di jalanan dan melunak terhadap kejahatan sistemik-kemanusiaan yang mendegradasi derajat martabat manusia sebagai modal pembangunan. Tidak menutup kemungkinan, sindikat HT tersebut dilindungi rezim hukum sehingga upaya penanganan perdagangan orang, termasuk para TKI ilegal, bergerak seperti jalannya siput. Kita tentu masih ingat bagaimana Brigadir Rudi Soik, anggota Kepolisian Daerah NTT yang berusaha membongkar jaringan HT, justru dihalang-halangi atasannya di Direktorat Kriminal Umum Polda NTT, bahkan akhirnya ia divonis 4 bulan penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Kupang (17/2/2015). Tidak terkecuali, PJTKI nakal yang membiarkan perekrutan, pelatihan, pengurusan dokumen dijalankan asal-asalan, penuh rekayasa menjadi pihak yang turut bermain.
Tiada political will
Sistematiknya jaringan aktor-aktor pelaku tersebut sebenarnya bisa dikalahkan kalau ada political will pemerintah untuk melakukan pencegahan maupun pemberantasan kasus dimaksud. Misalnya pemerintah mestinya sudah jauh-jauh hari membuat early warning system berupa peta akar masalah. Selain itu, faktor-faktor kausalitas dan pendorong HT, peta jalur pengiriman TKI yang bermasalah dengan modus dominan penyaluran ilegal calon TKI sehingga, bisa dijadikan sebagai basis dalam memformulasi kebijakan pencegahan maupun pemberantasan HT di daerah NTT. Nyatanya kerja gugus tugas tentang antiperdagangan orang dan pencegahan serta penanganan calon tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja Indonesia bermasalah/nonprosedural di provinsi NTT yang ditetapkan melalui SK Gubernur nomor 294/KEP/HK/2014, yang diketuai asisten 1 Setda NTT, tidak efektif berjalan. Padahal, gugus ini memiliki tujuh subgugus tugas. Di antaranya pencegahan dan pembinaan, subgugus tugas pencegahan trafficking, subgugus tugas pengembangan norma hukum, dan subgugus tugas rehabilitasi kesehatan. Merebaknya sindikat terorganisasi tersebut merupakan sisi gelap kekuasaan lokal yang lebih mementingkan pragmatisme ketimbang melihat pembangunan modal sosial sebagai pintu masuk untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat. Inilah saatnya sindikat HT dibongkar. Warga masyarakat, LSM yang pro terhadap kemanusiaan, institusi agama, dan dunia perguruan tinggi harus bergandengan tangan menyelamatkan cermin kemanusiaan yang terluka ini. Kita berharap ini juga menjadi pintu tobat bagi pemerintah bersama aparat untuk menginisiasi perlawanan kolektif terhadap HT
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved