Atlet Papan Atas

Suprianto Annaf, Redaktur Bahasa Media Indonesia
28/8/2016 01:30
Atlet Papan Atas
(MI/Arya Manggala)

BAHASA itu terkait erat dengan berpikir. Apa yang dipikirkan akan di padupadankan dengan bahasa. Realisasinya berupa kata atau ujaran. Kata yang mewakili konsep itu sering ter samarkan. Sering pula berupa konsep dan pengibaratan. Lawan bicara atau pendengar pun dibuat keteteran. Dalam konteks kekinian, lagi-lagi antara konsep dan makna kadang tak sejalan. Sebagai contoh, lihatlah gabungan kata atlet papan atas. Semerbak frasa itu meluncur tatkala Owi/Butet meraih medali emas.

Media massa, kalangan perbulutangkisan, dan bahkan rakyat Indonesia menyanjung prestasi itu setinggi-tingginya. Pasangan itu pun dinobatkan sebagai kelompok 'atlet papan atas'. Pengibaratan dengan kata papan atas setara dengan makna unggulan, elite, dan ketenaran. Atlet seperti itu tentu saja penuh prestasi yang membanggakan. Bergelimang medali dan sanjungan. Tentu saja seperti Owi/Butet yang baru saja meraih emas lalu diarak bak pahlawan.

Akan tetapi, bagaimana kerasional an ungkapan papan atas? Bila dirunut ke masa 1990-an, pe ngibaratan dengan kata papan atas marak dilekatkan pada kata artis dan aktor. Tentu saja di masa itu sering terdengar artis papan atas atau aktor papan atas. Faktanya memang poster kelompok artis seperti itu dipajang di papan iklan di bagian atas. Karena hal itu pula, poster artis dan aktor yang di papan atas disepadankan dengan artis terkenal, termahal, dan terpopuler.

Dalam kekinian, tentu saja peletakan poster seperti itu tidaklah sepadan. Pasti pula tidak bermedia papan. Akan tetapi, pemasangan poster sudah dilakukan di layar serbagemerlapan: LCD atau LED. Kita sekarang berada era kecanggihan. Sayangnya, ungkapan tidak pernah terbarukan. Tetap saja memakai kata atlet papan atas atau artis papan atas.

Selain itu, ungkapan kata berkantong tebal dan rekening gendut juga menjadi pengibarat an yang tidak sepadan. Lagi-lagi ini terjadi karena kemajuan zaman. Dulunya, orang yang berkantong tebal selalu mewakili strata sosial yang berkelimpahan harga, kaya raya, borjuis, priayi, atau ningrat. Biasanya pula kelompok beruang itu menjadi rebutan, dibanggakan, dan diimpiimpikan.

Mereka tampil dengan kantong celana belakang yang kencang berisi uang. Lagi-lagi rasionalisasi kata berkantong tebal sekarang sudah terbantahkan. Orang yang berharga, banyak uang, dan kalangan elite tidak lagi diwakili kantong tebal. Justru mereka berkantong tipis walau tetap saja elitis dan borjuis.

Dengan selempeng kartu ATM, mereka bisa mengantongi bertriliun-triliun uang. Pun dengan secarik kertas, mereka bisa saja sedang menggenggam limpahan kekayaan. Sama pula halnya kata rekening gendut. Persepsi gendut selalu mewakili dengan jumlah berlebih, berlimpah, dan sesak penuh. Rekening yang banyak menampung uang hasil korupsi diwakili ungkapan seperti ini. Padahal, nyatanyata tidak pernah terlihat penambahan berat dan ukuran.

Paparan tersebut menunjukkan pengungkapan yang tidak relevan. Sulit dibuktikan dan tentu keluar dari konsep yang dipikirkan. Generasi yang terlahir kemudian tentu mempertanyakan antara kata dan pengertian, antara konsep dan pembuktian. Padahal, bahasa itu harus disampaikan dan diajarkan.

Ungkapan seperti papan atas, berkantong tebal, dan rekening gendut tentu saja tidak mudah disematkan dalam pelajaran. Selain memicu kebingungan, tentu saja sudah tidak sepadan. Karena itu, ungkap an juga harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Bernilai dan relevan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya